Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melahirkan Generasi Sholih dan Sholihah Terinspirasi dari Pola Tarbiyyatul ‘Aulad Nabi Ibrahim

 

Melahirkan Generasi Sholih dan Sholihah

Terinspirasi dari Pola Tarbiyyatul ‘Aulad Nabi Ibrahim

(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

INSPIRASI DARI NABI IBRAHIM

Sesungguhnya momentum Hari Raya Idul Adha yang sangat dikenal dengan sebutan  Hari Raya Idul Qurban selalu saja menjadi rekontruksi atau momentum untuk mengenang kembali sejarah masa lampau. Sejarah kehidupan sosok manusia-manusia agung para kekasih Allah subhanahu wata'ala, yaitu figur Nabiyullah Ibrahim 'alaihis salam, figur sang anak hebat dan Sholeh Nabi Ismail subhanahu wata'ala, dan figur seorang istri dan ibu yang luar biasa, yaitu Ibunda Siti Hajar.

Momentum Idul Qurban sebuah prosesi yang sungguh mengharukan sejarah umat manusia karena terjadi  penyembelihan yang dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim AS terhadap putra tercintanya, yaitu Nabi Ismail yang akhirnya diganti dengan seekor kambing oleh Allah SWT.

Selain sebagai bentuk kepatuhan atas perintah Allah SWT, ibadah Qurban merupakan bentuk solidaritas atas sesame, khususnya kaum dhu’afa.

Sungguh Nabi SAW Sangat membenci mengecam keras orang yang mampu untuk berqurban tetapi enggan untuk berqurban, karena dalam Islam ibadah qurban bukan hanya ritual belaka untuk persembahan guna meningkatkan spritualitas seorang hamba. Idul Qurban juga bukanlah sebatas tontonan atas kesalehan orang-orang kaya semata. Namun, lebih dari itu, ibadah qurban adalah dalam rangka memperkuat kepekaan sosial kepada sesame, terlebih kepada kaum Dhu’afa yang ada di sekitar kita.

Sungguh, berqurban merupakan tindakan amal untuk menyantuni fakir miskin dan membuat gembira orang yang sengsara. Ibadah Qurban mencerminkan pesan Islam bahwa seseorang hanya dapat mendekatkan diri (Taqarrub) pada Allah bila ia sebelumnya telah dekat dengan saudara-saudaranya yang kesulitan dan berada dalam kondisi kekurangan. Selain itu, ada beberapa hal yang dapat kita petik bebrapa pelajaran berharga dalam siroh dan kehidupan agung Nabi Ibrahim AS dan keluarganya.

Pelajaran pertama adalah pertanyaan Allah subhanahu wata'ala pada Nabi Ibrahim, faiana tadzhabun (Hendak kemana engkau akan pergi) ?. Ketika Nabi Ibrahim yang dikenal kara raya dengan seribu ekor domba yang ia miliki. Tiga ratus ekor lembu atau sapi, dan seratus ekor unta, beliau ditanya oleh Allah SWT, “Hendak kemana engkau akan pergi”. Maka beliau menjawab, “Inni dzahibun ila rabbi sayahdin”. Dialog ini termaktub dalam QS. At-Takwir ayat 26. Artinya: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan dia memberi petunjukan padaku”. Tampaknya, bagi Nabi Ibrahim, tujuan akhir hidup manusia bukan kekayaan, bukan pangkat, bukan jabatan dan bukan pula harta keduniaan lainnya, tetapi tujuan hidup yang sebenarnya adalah kembali kepada Allah subhanahu wata'ala dalam keridho’an-Nya.

Hakikat ber-Islam, seperti yang telah diperlihatkan oleh Nabi Ibrahim, telah memberikan arah jalan menuju Sang Illahi Robbi sebagai jalan menuju akhirat untuk meraih kebahagiaan yang hakiki dalam Ridho Illahi.

Islam memberikan dimensi moral spritual agar aktivitas manusia memiliki tujuan yang lebih bermakna, bukan hanya sekedar mobilitas fisik tanpa tujuan yang bersifat illahi.

Sungguh, pertanyaan Allah kepada Nabi Ibrahim adalah pertanyaan moral yang penuh makna: Hendak dibawa kemana harta benda yang kita miliki? Hendak dibawa ke mana pasangan hidup dan anak keturunan kita? Hendak dibawa kemana jabatan yang kita emban? Hendak dibawa kemana pangkat yang ada di pundak kita? Hendak dibawa kemana ilmu kita? Hendak dibawa kemana tubuh yang kita banggakan karena ketampanan, kecantikan dan kekuatan atau kekokohan dari tubuh kita? Oleh karena itu, merupakan hal yang sangat penting untuk menanyakan kembali pertanyaan yang Allah SWT sampaikan kepada Nabi Ibrahim. Karena boleh jadi, yang pokok bagi manusia secara faktual dewasa ini adalah sikap avoiding the pain (Menghindari diri dari kesakitan). Manusia selalu berusaha menghindari apapun yang menyakitkan dirinya dan manusia selalu menginginkan looking for the pleasure (mengejar apapun yang dirasakan menyenangkan). Kondisi inilah yang akhirnya memunculkan sikap kecintaan terhadap keduniaan semata (Hubuddunya) sehingga hidupnya selalu berorientasi kepada kesenangan duniawi (Mankanatil akhiroh himmahu), hingga mereka melupakan akan perlunya bekal pahala untuk menghadapi kehidupan akhirat yang kekal abadi dengan selalu berorientasi kepada tujuan kehidupannya di akhirat nanti (Mankanatil akhiroh himmahu)

Dengan demikian, arahkan tujuan hidup kita, seperti teladan Nabi Ibrahim, adalah harus tertuju pada Allah SWT. Tuhan semesta alam. Sebagaimana pernyataan kita pada setiap awal rokaat pertama pada saat menunaikan shalat “Inna shalati wa nusuki wamahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin”. (Sesungguhnya sholatku, ibadahku, matiku, hidupku adalah untuk Allah). Setiap awal sholat, kita sudah seringkali mengikrarkan kalimat ini melalui lisan kita.

Pelajaran berharga lainnya yang kita bisa teladani dari sosok Nabi Ibrahim 'alaihis salam adalah bahwa tujuan tertinggi manusia adalah sebagaimana doa dari Nabi Ibrahim yang beliau panjatkan: “Rabbi hab li minasshalihin”, Ya Allah berilah kami anak-anak yang soleh.

Yang Nabi Ibrahim minta atau mohon kepada Allah SWT adalah ia dikaruniakan anak yang soleh. Bukan anak yang pintar. Bukan pula anak yang kaya raya. Bukan anak yang punya jabatan kelak memiliki jabatan tinggi. Bukan pula anak yang kelak mempunyai pangkat yang tinggi.

Sungguh apalah artinya anak kaya raya, anak berpangkat dan memiliki jabatan tinggi, dan anak yang cerdas atau pintar tetapi mereka tidak termasuk anak yang Soleh/Sholehah.

Karena itu, kata kuncinya adalah “anak soleh dan sholehah”. Untuk mewujudkan anak yang soleh/solehah, tentu bukan hal yang mudah.

Pertama: keluarga adalah hal utama dan pertama dalam mewujudkan anak soleh/sholehah. Jangan remehkan peran keluarga.

Anak yang soleh dan solehah, pasti tidak luput dalam pendidikan keluarga sejak dini seperti dilakukan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar.

Keduanya berjibaku membentuk karakter Ismail sedemikian rupa. Mereka mengajarkan pendidikan agama pada Ismail sejak dini.

Ini sama dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam mendidik anak-anak muslim:

“Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara: mencintai Nabimu, mencintai ahlu baitnya dan membaca al-Qur’an”. (HR. Tabrani).

Dan Nabi juga bersabda:

علموا اولادكم فانهم مخلوقون في زمان غير زمانكم

“Didiklah anak-anakmu karena mereka hidup di zaman yang tidak sama dengan zamanmu.”

“Allahu akbar allahu akbar allahu akbar la ilahaillahu allahu akbar. Allahu akbar walillahil hamdu “.

Ma’asyiral Muslimin as’adakumullah

Kedua, memberi keteladanan (uswah) pada anak-anak kita.

Bagaimanapun, keteladanan merupakan dakwah yang sangat manjur dalam mengarahkan anak-anak kita.

Dengan keteladanan yang ditampakkan sehari-hari, maka yang demikian ini akan mempengaruhi anak-anak kita.

Keluarga yang mempertontonkan kejujuran dan kedermawanan akan berpengaruh bagi anaknya.

Sebaliknya, keluarga yang mempertontonkan kedustaan dan kebakhilan juga akan anaknya meniru.

Karena itu, Abdullah Nasih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad, mengutip penyair yang melontarkan kecaman bagi pengajar atau orang tua yang tindak tanduknya bertentangan dengan ucapannya

Wahai orang Yang mengajar orang lain Kenapa engkau tidak juga menyadari Dirimu sendiri. Engkau terangkan bermacam hal kebaikan agar semua yang menjalankannya. Sedangkan engkau sendiri enggan menjalankannya. Perbaikilan dirimu dahulu. Lalu ajaklah orang lain agar memperbaiki perilakunya.

Dengan demikian, Engkau adalah seorang yang bijak Apa yang engkau nasehatkan Akan mereka terima dan ikuti, Ilmu yang engkau ajarkan Akan bermanfaat bagi mereka.

Ketiga, kumpulkan anak-anak kita dengan teman-teman yang baik atau teman yang soleh atau solehah. Teori habitus yang disampaikan oleh Pierre Bordieu menunjukkan bahwa habitus merupakant mpat di mana anak-anak kita berada, sangat berpengaruh pada perkembangan perilaku atau akhlaq anak-anak kita.

Terkait dengan pembentukan akhlaq yang karimah bagi anak-anak kita, alangkah baiknya kita perhatikan nasehat yang pernah disampaikan oleh Almarhum KH Abdul Muchith Muzadi di hadapan para orang tua, “Lebih baik sekolah yang mengedepankan berakhalkul karimah meskipun 'sekolah tersebut tidak berkualitas atau tidak bermutu' daripada 'sekolah yang bermutu' tapi tidak mengedepankan berakalakul karimah”.

Dengan demikian, kita para orang tua harus cerdas dalam memilih Lembaga Pendidikan bagi putra-putri kita. Oleh karena itu, carilah habitus/ tempat anak-anak kita bersekolah yang baik-baik. Jangan terjerumus pada habitus yang kurang baik sehingga menyebabkan anak kita terpengaruh dengan lingkungan sekolah yang tidak baik tersebut. Marilah kita lahirkan Generasi Sholih dan Sholihah melalui inspirasi dari Pola Tarbiyyatul ‘Aulad Nabi Ibrahim.

Posting Komentar untuk "Melahirkan Generasi Sholih dan Sholihah Terinspirasi dari Pola Tarbiyyatul ‘Aulad Nabi Ibrahim"