Perhatikan Amalmu Meningkatkan Keimanan dan ketaqwaanmu ataukah Menurunkannya ?
Perhatikan
Amalmu
Meningkatkan
Keimanan dan ketaqwaanmu
ataukah Menurunkannya ?
(Oleh:
Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Untuk bahan insiprasi bagi para pembaca,
Penulis ingin mengetengahkan sebuah kisah yang sangat inspiratif. Kisah ini
diceritakan oleh Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah. Siapkah sosok Syaikh
Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah ini? Nama lengkap beliau adalah Abdurrazaq bin Abdil Muhsin bin Hamd bin
Abdil Muhsin bin Abdillah bin Hamd bin ‘Utsman Al Abbad Alu Badr. Adapun Al
Abbad adalah laqb dari kakek buyut beliau, Abdullah bin Hamd,
beliau ber-intisab kepadanya. Sedangkan Alu Badr merupakan sebutan
untuk keturunan Alu Jalas dari Kabilah ‘Utrah salah satu kabilah
Al-‘Adnaniyah. Nenek beliau adalah putri dari Sulaiman bin ‘Abdullah Alu Badr.
Beliau dilahirkan pada tangga 22 November 11
M/1382 H di desa Zulfi (300 km dari utara Riyadh), Provinsi Riyadh, Saudi
Arabia. Beliau tumbuh dan dewasa di desa ini dan belajar baca tulis
di sekolah yang diasuh oleh ayah beliau sendiri. Keluarga beliau adalah
keluarga ‘alim yang sangat perhatian pada ilmu agama. Ayah beliau, Syaikh Abdul
Muhsin Al Abbad hafizhahullah, adalah ulama besar ahli hadits yang
diakui keilmuannya di zaman ini.
Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah menceritakan
bahwa suatu saat beliau pernah mengunjungi suatu kampung yang sangat terkenal
dengan banyaknya para penuntut ilmu. Beliau pun shalat di masjid kampung
tersebut. Setelah itu beliau menyapa salah seorang Bapak Tua (seorang kakek)
yang juga shalat di Masjid tersebut, seraya Beliau berkata: “Sunbhanallah, di kampung
Kakek ini banyak sekali penuntut ilmunya ya, Kek”. Kakek tersebut langsung
menjawab dengan suara yang tegas, “Tidak
ada thalabul ‘ilm (para penuntut ilmu) di kampung kami, orang yang tidak shalat
shubuh berjama’ah bukan penuntut ilmu!”. Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr
hafizhahullah pun tersontak kaget karena mendengar ucapan kakek tersebut yang ternyata
banyak penuntut ilmu di kampung itu yang tidak menghadiri shalat shubuh
berjama’ah. Beliau berkata, “Perkataan kakek tua ini benar, bahwa ilmu itu
untuk diamalkan. Bahkan, bisa jadi kita mendapatkan seorang penuntut ilmu
semalam suntuk membahas tentang hadits-hadits Nabi yang menunjukan keutamaan
shalat shubuh secara berjama’ah. Bahkan bisa jadi dia menghafal hadits-hadits
tersebut di luar kepala, namun saat tiba waktu mengamalkan hadits-hadits
tersebut, dia tidak mengamalkannya atau ketiduran sehingga tidak shalat shubuh
berjam’ah”. Ini salah satu cerita Syaikh yang cukup melekat di hati, terutama
bagi kita para Penuntul Ilmu. Sungguh benar adanya bahwa tujuan dari menuntut
ilmu adalah untuk diamalkan. Hal ini dinyatakan dengan dengan nada singkat dan
tegas oleh Rasulullah SAW dalam bersabda
Beliau:
القُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al-Qur’an
akan menjadi hujjah (yang akan membela) engkau atau akan menjadi bumerang yang
akan menyerangmu”.
Hal ini pun senada dengan perkataan Syaikh Utsaimin bahwa ilmu hanya akan memberi dua pilihan dan
tidak ada pilihan atau kemungkinan yang ketiga, yaitu hanya menjadi pembela
bagi pemiliknya atau akan menyerangnya pada hari kiamat jika tidak diamalkan.
Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak menuntut ilmu hanya untuk menambah
wawasannya, namun hendaknya dengan niat untuk diamalkan agar tidak menjadi
bumerang yang akan menyerangnya pada hari kiamat kelak.
Marilah untuk sejenak kita renungkan, sudah
berapa lama kita ikut dalam suatu pengajian atau kajian ilmu keislaman, berapa
kitab yang telah kita baca, dan berapa banyak kegiatan muhaadharah yang kita
ikuti dan kita dengarkan? Sungguh merupakan kenikmatan tatkala seseorang bisa
aktif mengikuti kajian atau pengajia. Hanya saja, persoalannya apakah kita siap
untuk menjawab pertanyaan yang pasti akan ditanyakan kepada kita semua,
sebagaimana yang diingatkan oleh Nabi Muhammad saw melalui sebuah Sabdanya yang
mengandung sebuah Pertanyaan Retoris
(Pertanyaan yang bukan menuntut jawaban tetapi hanya butuh perenungan) ?
وعَنْ عِلْمِهِ, مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟
“Ia akan
ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari ilmunya?”
Lebih lanjut, Syaikh Abdurrazzaq menjelaskan,
seseorang yang telah banyak mengumpulkan ilmu kemudian tidak diamalkan, hal ini
tentu menunjukkan niat yang tidak benar di dalam hatinya. Sungguh menyedihkan
jika Ahlus Sunnah yang memberi perhatian sangat besar terhadap ilmu aqidah baik
penanaman nilainya maupun pembenahan aqidah-aqidah yang menyimpang di
masyarakat, namun ilmu aqidah yang ia miliki tidak tercermin pada amalan
shalehnya dan tidak diimplementasikan dalam kehidupannya. Selanjutnya, Syaikh
Abdurrazzaq berkata: “Aku ingin
mengingatkan sebuah perkara yang terkadang kita melalaikannya saat kita
mempelajari ilmu aqidah”. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata:
كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لاَ يَزِيْدُ الإِيمَانَ
واليَقِيْنَ قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لاَ يَبْعَثُ عَلَى الْعَمَلِ
فَمَدْخُوْلٌ
Setiap
ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka
telah termasuki (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk
beramal maka telah termasuki (tercoreng). (Al-Fawaid: 86)
Makna yang terkandung dalam perkataan “telah termasuki”, yaitu telah termasuki sesuatu, baik riya, tujuan
duniawi, atau yang semisalnya. Hal ini menjadikan ilmu tersebut tidak akan
bermanfaat dan tidak diberkahi oleh Allah swt. Dengan demikian, niat yang baik
merupakan perkara yang harus baik, baik dalam mempelajari aqidah ataupun ilmu
agama yang lain secara umum. Jika
seseorang mempelajari ilmu aqidah, hendaknya ia tidak mempelajarinya hanya
sekadar untuk menambah telaah dan memperbanyak wawasan. Akan tetapi, hendaknya
ia mempelajarinya karena aqidah merupakan bagian dari agama Allah yang
diperintahkan kepada para hamba-Nya, serta menyeru mereka kepada-Nya dan
menciptakan mereka karena aqidah dan dalam rangka merealisasikannya. Oleh
karena itu, hendaknya ia berijtihad (berusaha keras) untuk memahami
dalil-dalilnya dan mendekatkan diri (Bertaqarrub) kepada Allah dengan
mengimani dan menanamkannya di dalam hati. Jika ia mempelajari aqidah dengan
niat seperti ini maka akan memberikan manfaat dan bermaslahat dan akan
mempengaruhinya dalam upaya perbaikan sikap, amal, dan akhlaq dalam seluruh sendi
kehidupannya.
Namun sebaliknya, jika seseorang mempelajari
aqidah hanya karena untuk jidal dan perdebatan tanpa
memperhatikan sisi pensucian jiwa dengan keimanan, keyakinan, serta rasa tenang
dengan aqidah tersebut –yang telah diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya
maka sesungguhnya hal tersebut tidak akan membuahkan hasil.
Marilah sejenak kita berinstrospeksi diri,
apakah semakin bertambah ilmu kita diikuti dengan bertambah pula amalan kita?
Ataukah bertambah ilmu justru semakin malas dalam beramal? Bukankah kita masih
ingat saat di awal-awal mengikuti pengajian tampak semangat kita begitu besar
dalam menjalankan sunnah-sunnah Nabi. Akan tetapi, kenapa sebagian kita pada
saat semakin bertambah ilmu semakin menurun kualitas dan kuantitas amal kita?
Bahkan, setelah mengetahui beberapa amalan hukumnya sunnah, justru semakin
mendorong kita untuk meninggalkan amalan tersebut. Ternyata Ilmu yang
dimilikinya justru mengantarkannya untuk meninggalkan amalan. Bahkan bisa jadi
karena terbiasa meninggalkan amalan-amalan sunnah akhirnya perkara-perkara yang
wajib pun bisa disepelekan atau bahkan ditinggalkan. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah pernah berkata,
وَإِذَا أَصَرَّ عَلَى تَرْكِ مَا أُمِرَ بِهِ مِنْ
السُّنَّةِ وَفِعْلِ مَا نُهِيَ عَنْهُ فَقَدْ يُعَاقَبُ بِسَلْبِ فِعْلِ الْوَاجِبَاتِ
حَتَّى قَدْ يَصِيرُ فَاسِقًا أَوْ دَاعِيًا إلَى بِدْعَةٍ
Seorang
jika terus meninggalkan sunnah yang diperintahkan dan melakukan perkara yang
terlarang maka bisa jadi ia dihukum (oleh Allah) dengan meninggalkan hal-hal
yang wajib, hingga akhirnya bisa jadi ia menjadi orang fasiq atau orang yang
menyeru kepada bid’ah. (Majmuu’
Al-Fataawa, 22/306)
Alangkah baiknya jika kita pun mendiagnosis
hati (Qolbu) dan ketakwaan kita, apakah dengan bertambahnya ilmu setelah sekian tahun mengikuti pengajian ketakwaan
dan keimanan kita semakin mengalami peningkatan? ataukah justru sebaliknya semakin
menurun ? Jika ternyata yang kita rasakan bahwa diri kita semakin malas beramal
dan lemah iman maka ingatlah akan nasihat Syaikh Abdurrazzaq bahwasanya niat kita selama ini ternyata terkontaminasi
dan ternodai dengan penyakit-penyakit hati, baik riya, ujub, atau tujuan-tujuan
duniawi lainnya. Wallahu’alam bisshowab.
Posting Komentar untuk "Perhatikan Amalmu Meningkatkan Keimanan dan ketaqwaanmu ataukah Menurunkannya ?"