Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kriteria Hati Yang Selamat (Qolbun Salim)

 

Hati Yang Selamat

Kriteria Hati Yang Selamat (Qolbun Salim)

(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

Kata salîm berasal dari bentuk kata kerja salima (selamat). Artinya, ia memiliki akar kata yang sama dengan kata Islam. Secara bahasa, qalb salîm adalah hati yang selamat dari penyakit atau kerusakan apa pun. Adapun pengertian khususnya adalah hati yang tidak mengenal selain Islam.

Agar memiliki hati yang selamat, manusia harus menerapkan seluruh akhlak mukmin yang terkandung dalam Al-Quran. Ini adalah definisi yang umum dan mencakup segala hal. Sa’ad bin Hisyam bin Amir meriwayatkan, “Aku mendatangi Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Wahai Ummul Mukminin, ceritakanlah kepadaku akhlak Rasulullah saw.’ Beliau menjawab, ‘Akhlak beliau adalah Al-Quran. Hal ini senada dengan pujian Allah swt kepada Rasulullah SAW, sebagaimana tertuang dalam QS Al Qalam : 4 , Allah swt berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang agung”.

Jika kita telaah historis turunya Kitab Suci Al-Qur’an maka akan kita ketahui bahwa  Al-Quran turun pertama-tama untuk menata kehidupan Rasul saw. lewat cahayanya. Umat kemudian mengikuti (beri’tiba) kepada sang pemimpin serta menata kehidupan, pemikiran, dan pemahaman sesuai dengan contoh dari sang pemimpin. Selanjutnya, hati yang selamat adalah hati yang bebas dari segala hal yang membahayakan manusia. Sebagaimana dalam salah satu hadis Shahih Bukhori :  

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلَمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مِنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

“Dari Abdullah bin 'Amru. Nabi Muhammad SAW bersabda,  "Seorang muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah." (Shahih Bukhari).

Tentunya ini adalah definisi khusus yang juga merupakan definisi yang istimewa. Setiap muslim tidak boleh menuturkan kata-kata dari lisannya dan menjulurkan tangannya untuk menyakiti siapa pun.

Istilah “qalb salîm terdapat dalam Al-Quran di dua tempat. Keduanya terkait dengan Ibrahim a.s. Beliau sangat terenyuh melihat penyimpangan dan kesesatan kaumnya, terutama melihat kondisi ayahnya, Azar. Perhatian beliau kepada sang ayah adalah sesuatu yang alami dan fitri, karena setiap manusia dalam fitrahnya memiliki rasa cinta dan perhatian kepada keluarga dan kerabat. Rasa cinta semakin bertambah apabila orang itu sangat dekat dengan dirinya. Tidak ada anak saleh yang rela melihat kesesatan dan penyimpangan orangtuanya. Ia tentu akan sangat sedih. Terlebih lagi, jika ia memiliki jiwa yang peka seperti Ibrahim a.s. yang termasuk nabi besar. Karena itulah, Ibrahim a.s. sangat sedih dengan kondisi ayahnya.

Ibrahim a.s. menyeru kaumnya dan ayahnya kepada agama tauhid. Akan tetapi, kaumnya—juga ayahnya—justru menentang seruannya dengan alasan bahwa mereka melihat para pendahulu mereka menyembah patung. Alasan ini senantiasa dilontarkan kaumnya kala mereka hendak lari dari kenyataan dan kebenaran. Menghadapi sikap keras kepala tersebut, Ibrahim mengangkat tangannya dan bermunajat kepada Tuhan, sebagaimana tertulis dalam QS. Surat Asy-Syu'ara' Ayat 83 s.d 89, Allah swt berfirman:

رَبِّ هَبْ لِى حُكْمًا وَأَلْحِقْنِى بِٱلصَّٰلِحِينَ ("Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh,

وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ (dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian,

وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (Jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga nan penuh kenikmatan.)

وَاغْفِرْ لِأَبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (Ampunilah ayahku, sebab ia termasuk orang yang sesat.)

وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ  (Janganlah Kauhinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.)

 يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ  (Yaitu hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna.)

إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (Kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat (qalb salîm).

Ibrahim a.s. memiliki hati yang selamat. Sebagaimana  Firman Allah swt dalam  Q.S. al-Shâffât: 83 – 84.:

 وَإِنَّ مِنْ شِيعَتِهِ لَإِبْرَاهِيمَ (Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).

إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (lngatlah, ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa pada Hari Akhir nanti tidak ada yang bermanfaat kecuali yang datang dengan membawa hati yang selamat. Artinya, hati yang kafir tidak mungkin sampai ke pantai kedamaian dan keselamatan pada hari itu. Andaipun anak orang kafir itu adalah seorang nabi seperti Ibrahim a.s., sang anak tetap tidak bisa menyelamatkan ayahnya padahal Ibrahim a.s. adalah sahabat Allah serta bapak para nabi. Bahkan, penghulu para nabi, Muhammad saw., bangga karena menyerupainya. Ayah nabi mulia itu kafir. Meskipun kedudukan beliau sendiri begitu agung di sisi Allah, beliau tidak bisa memberikan manfaat kepada ayahnya yang kafir.

Dengan demikian, Hati yang selamat harus bersih dari kekafiran, kesyirikan, serta keraguan dan kebimbangan akan Keagungan Allah swt. Hati yang penuh dengan kekafiran, betapapun pemiliknya berbuat baik dan humanis, tetap tidak akan menjadi hati yang selamat. Banyak manusia dewasa ini berkata, “Hatiku bersih karena aku sangat mencintai manusia dan selalu berusaha menolong mereka.” Ini adalah pengakuan kosong karena hatinya berisi kekafiran dan pengingkaran. Hatinya bukanlah hati yang selamat dan bersih, sebab ia mengingkari Pemilik dan Penguasa alam. Hatinya terisi oleh pengingkaran tersebut. Mencintai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan adalah sesuatu yang baik dan penting, namun terlebih dahulu nilai-nilai kemanusiaan harus dipahami secara benar kemudian pemahaman ini harus berkesinambungan dan tidak terputus. Pemahaman semacam ini terkait dengan iman. Tanpa iman, segala bentuk kebaikan, keindahan, dan kemuliaan hanyalah dusta atau sementara sehingga tidak bernilai.

.

Hati selamat yang terhindar dari azab Allah SWT adalah hati yang pasrah dan menerima perintah-Nya, yang tidak lagi ada penentangan terhadap perintah dan wahyu-Nya. Tidak ada yang memenuhinya kecuali Allah SWT. Tidak ada yang ia inginkan selain Allah SWT. Ia hanya menunaikan apa yang diperintahkan Allah SWT. Hanya Allahlah yang ia tuju, hanya perintah-Nya yang ia tunaikan, dan hanya aturan-Nya yang menjadi cara serta jalan hidupnya. Tidak ada sedikitpun keraguan yang mejadi penghalang antara ia dan keimanan terhadap wahyu-Nya. Bahkan setiap kali keraguan itu terlintas, ia pun tahu bahwa keraguan itu tidak akan membuatnya tenang. Juga tidak ada hawa nafsu yang mampu merintanginya untuk mencari ridha Allah SWT. Ketika hati sudah demikian keadaannya, maka ia bersih dari kemusyrikan, bid'ah, kesesatan, kebatilan, dan semua hal yang sejalan dengan hal-hal tercela tersebut.

Pada hakikatnya, hati yang selamat adalah hati yang berserah diri kepada Tuhannya, Pemilik hati yang selamat saat menyembah-Nya akan  penuh rasa malu, penuh harap dan penuh hasrat. Dengan demikian, ia akan melebur dalam cinta kepada Allah SWT, dan bersih dari segala sesuatu selain Dia. Ia lebur dalam rasa takut kepada-Nya, dan tidak ada rasa takut kepada yang lain. Ia lebur dalam pengharapan kepada-Nya, dan tidak mengharapkan selain Dia. Ia menerima segala perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya dengan penuh keimanan dan ketaatan. Ia berserah diri kepada qadha dan qadar-Nya, sehingga ia tidak berprasangka buruk, menentang dan marah terhadap segala ketetapan-Nya.

Pemilik Hati yang selamat (Qolbun Salim) akan berserah diri kepada Tuhannya dengan penuh kepatuhan, kerendahan, kehinaan dan kehambaannya. Ia menyerahkan segala perkataan, perbuatan, perasaan dan intuisi, baik lahir maupun batin, kepada tuntunan Rasul-Nya dan menolak segala sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntunan itu. Jadi apa yang sejalan dengan tuntunan Rasul saw. dia terima dan apa yang bertentangan ia tolak. Sedangkan sesuatu yang tidak jelas, apakah sejalan atau bertentangan, maka ia akan menunda dan menghindarinya sampai hal itu menjadi jelas. Ia tidak berseberangan dengan para wali dan golongan Allah SWT yang beruntung, yang membela dan menegakkan agama dan sunnah Nabi-Nya.

Oleh karena itu, terkait dengan Hati yang selamat (Qolbun Salim) hal yang pertama kali harus dipastikan adalah keselamatan hati (Qolbu) dari kekafiran dan kemusyrikan.

Hal yang kedua, hati harus dimakmurkan dengan Islam dan harus berhias akhlak Al-Quran. Apabila hati tidak dihiasi dengan akhlak yang diperintahkan Al-Quran, ia bukan hati yang selamat. Hati manusia menjadi selamat sesuai dengan seberapa baik ia mengikuti akhlak Rasul saw., karena beliau adalah sosok yang menampilkan akhlak Al-Quran dan seluruh manifestasi hati yang selamat. Jika tidak mengikuti Rasul, janganlah menipu diri. Kita berdoa kepada Allah Swt. agar Dia memberikan taufik kepada kita untuk bisa mengikuti akhlak Rasul-Nya dan berahklak dengan akhlak beliau.

Kita berharap agar kaum mukmin yang saat ini menunaikan pengabdian kepada Islam tidak membatasi pengabdian pada masalah ibadah dan ketaatan semata serta tidak mengisi hati mereka hanya dengan itu. Tetapi, pada waktu yang sama mereka harus siap untuk memberikan pengorbanan moral maupun materi demi kebahagiaan dunia dan akhirat orang lain. Mereka harus rela mengorbankan kenikmatan hidup guna membahagiakan orang lain dan menyelamatkan kehidupan akhirat mereka. Jika mereka berkumpul di sebuah majelis, hendaklah itu untuk menguatkan tekad mereka guna melakukan pengabdian yang lebih baik. Ketika engkau memerhatikan ucapan mereka, kaulihat hati mereka memperlihatkan satu tujuan, yaitu meninggikan kalimat Allah. Engkau pun menjadi yakin bahwa orang-orang itulah yang mendapat kabar gembira karena mereka benar-benar beriman. Mereka adalah jaminan kemunculan generasi baru di masa mendatang. Mereka adalah pemilik hati yang bersih dan selamat.

Kajian tentang Hati yang selamat adalah pokok persoalan yang sangat penting, karena Al-Quran memosisikan hati yang selamat sebagai ganti dari harta dan anak-anak: “Yaitu hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.”

Sesungguhnya Rasulullah saw telah menegaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti Beliau akan mengenali umatnya dan bisa membedakan mereka di antara seluruh umatnya. Ketika ditanya oleh sahabat tentang bagaimana cara Beliau membedakannya, Beliau menjawab, “Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki orang lain. Kalian akan mendatangiku dengan wajah yang bersinar terang karena bekas wudu.

Rasul saw pun akan mengenali umatnya pada bagian keningnya yaitu orang yang “tanda mereka terdapat di wajah mereka karena bekas sujud.” Abu Hurairah r.a. berwudu dengan membasuh muka, lalu kedua tangannya hingga nyaris mencapai bahu, kemudian kedua kaki sampai betis, dan selanjutnya ia berkata kepada orang yang bertanya, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Umatku akan datang pada Hari Kiamat dengan bersinar terang karena bekas wudu. Barang siapa dapat memanjangkan cahayanya, hendaklah ia melakukan itu.” Ini adalah salah satu manifestasi dan gambaran dari seseorang yang memiliki hati yang selamat (Qolbun Salim).

 

Posting Komentar untuk "Kriteria Hati Yang Selamat (Qolbun Salim)"