Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tumbuhkan Sikap Tawadhu Dalam Diri, Gapai Ridho Illahi Robbi

 

tawadu

Tumbuhkan Sikap Tawadhu Dalam Diri, Gapai Ridho Illahi Robbi

(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

Menurut Ibnu Qayyim rahimahullah bahwa, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’nya. Semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

 Dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim sangat dianjurkan untuk selalu memelihara sikap tawadhu. Memiliki perilaku tawadhu atau rendah hati juga merupakan salah satu cerminan seorang Muslim yang beriman kepada Allah SWT. Tawadhu bukan sekedar tata krama biasa, melainkan sikap ini jauh lebih dahulu ketimbang sopan santun yakni suatu sikap batin yang menjelma dalam praktik lahiriyah secara wajar dan bijaksana. Belajar menerapkan sikap tawadhu dalam kehidupan sehari-hari tidak akan merugikan melainkan dapat bermanfaat membuat kamu lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Lalu apa tawadhu’ itu ?

 Tawadhu’ secara bahasa bermakna rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah adalah menampakkan perendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Ada juga yang mengatakan tawadhu’ adalah mengagungkan orang karena keutamaannya. Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dan tidak menentang hukum. Tidak ada yang mengingkari, bahwa tawadhu’ adalah akhlak yang mulia.

 Sikap tawadhu atau rendah hati selalu dianjurkan untuk dimiliki setiap Muslim. Seseorang yang senantiasa menjalankan perilaku ini secara lahir batin, akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Manusia adalah tempatnya berbagai kelemahan, dan Allah meletakkan suatu kelebihan kepada orang tertentu dan meletakkan kekurangan kepada orang tertentu pula. Maka tidaklah mungkin ada orang yang sempurna dan tidak kekurangan. Orang yang rendah hati menyadari hal itu, sehingga ketika dia melihat saudara sesamanya memiliki sesuatau yang dia tidak miliki, maka dia akan tetap tenang dan tidak sakit hati. Hal ini bertolak belakang dibandingkan dengan orang yang sombong. Dia akan selalu gelisah dan merasa jengkel ketika dia melihat seseorang melebihi dirinya, entah hartanya, kecantikanya/ ketampananya, kedudukanya dan sebagainya.

 Barangsiapa mau merendahkan hatinya di hadapan manusia dan Allah, maka tenanglah hatinya. Seseorang belum dikatakan tawadhu kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada pada dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan seseorang, semakin sempurnalah ketawadhuanya. Kita adalah hamba Allah SWT, sungguh tidak pantas bagi seorang hamba berjalan di muka bumi dengan kesombongan. Allah berfirman: 

وَعِبَادُ الرَّحۡمٰنِ الَّذِيۡنَ يَمۡشُوۡنَ عَلَى الۡاَرۡضِ هَوۡنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الۡجٰهِلُوۡنَ قَالُوۡا سَلٰمًا

 Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan "salam," (QS. Al Furqan: 63)

Sifat tawadhu dalam diri seseorang tidak akan muncul secara tiba-tiba tanpa usaha yang berkesinambungan, Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu di dalam diri kita, di antaranya:

 Pertama : Mengenal Allah SWT (Ma’rifatullah)

Seorang hamba yang mengenal Allah dengan sebenarnya akan menyadari bahwa Dialah Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Kaya, dan Maha Perkasa, yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Bila ia mendapat kebaikan, ia memuji dan bersyukur kepada-Nya. Orang yang mengenal Allah akan mengakui bahwa dirinya rendah dan lemah, sehingga ia akan tawadhu dan merasa tidak pantas untuk bersikap sombong.

 Kedua : Mengenal Diri (Ma’rifatul Insan)

Jika diilihat dari asal-usulnya, sesungguhnya manusia berasal dari sperma yang hina. Kemudian lahir ke dunia dalam keadaan tanpa daya upaya dan tidak mengetahui apapun tanpa bimbingan dari Allah swt. Oleh karena itu, manusia tidak berhak sombong karena sombong itu bukan pakaian manusia tetapi pakaian Allah swt.. Manusia harus bersikap tawadhu, sebab ia lemah dan tidak mempunyai banyak pengetahuan. Manusia dapat terjebak dalam kesombongan bila ia tidak menyadari kekurangan, kelemahan  dan cela yang ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan kebaikan, padahal ia justru melakukan kerusakan dan kedzaliman. Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan muhasabah diri atau intropeksi diri baik sebelum melakukan, saat melakukan, dan setelah melakukan sesuatu sebelum ia dihisab oleh Allah SWT kelak di Yaumul Hisab. Hal ini harus disadari atas kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu dan tidak akan sombong kepada orang lain, terutama kepada Allah SWT.

Ketiga : Mensyukuri segala Nikmat Allah

Pada hakikatnya seluruh nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur atas karunia nikmat  yang telah Allah swt berikan kepadanya. Banyak manusia yang tidak menyadari hal tersebut. Banyak di antara kita diberi berbagai kenikmatan, baik berupa kesehatan, ilmu yang luas, harta yang banyak, kedudukan yang tinggi, prestasi tinggi dan kenikmatan lainya, merasa bangga pada diri sendiri dan merasa bahwa semua yang diraihnya semata-mata hasil dari usahanya. Kekaguman dan kebanggaan pada diri sendiri  pangkal kesombongan.

Oleh karena itu,  kita patut bermuhasabah diri dan  merenungkan atas berbagai nikmat yang telah Allah swt berikan kepada kita, Pertanyaannya  “Apakah kita bersyukur atas karunia nikmat tersebut ataukah kita kufur akan nikmat tersebut ?.. Maka dengan sikap tawadhu dan berhati-hati, kita mesti bersyukur dan bahkan mewaspadai jangan-jangan  kita masuk dalam perangkap “Istidraj”, Apakah makna Istidraj ? Ditinjau dari segi bahasa, istidraj diambil dari kata ‘daraja’ yang dalam bahasa Arab berarti naik dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya. Namun secara istilah, istidraj memiliki makna azab berwujud kenikmatan.

Ketika seorang muslim banyak melakukan maksiat dan jarang beribadah, namun hidupnya terus dilimpahi kenikmatan, ini adalah tanda istidraj dari Allah SWT. Ia terjebak dalam kenikmatan hidup, padahal dia semakin lalai menunaikan ibadah serta kewajiban lainnya.

KH. Ahmad Bahauddin Nursalim yang dikenal dengan nama panggilan Gus Baha  menyebutkan ada lima cara untuk Muhasabah Nafsiyyah untuk menumbuhkan sikap tawadhu’ seperti yang tertuang dalam kitab Bidayatul Hidayah, karangan Imam al-Ghazali.

1.    Apabila engkau melihat orang yang masih muda, maka katakan dalam hatimu, 'Orang ini belum banyak durhaka kepada Allah sedangkan aku sudah banyak durhaka pada Allah. Tidak diragukan lagi orang ini lebih baik dariku'.

2.    Apabila engkau melihat orang yang lebih tua, katakan dalam hatimu, 'Orang ini sudah beribadah sebelum aku, dengan begitu tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku'.

3.    Apabila engkau melihat orang alim (berilmu), katakan dalam hatimu, 'Orang ini sudah diberi kelebihan yang tidak diberikan kepadaku. Dia menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain sedangkan aku tidak menyampaikan apa-apa. Dia tahu hukum-hukum yang tidak aku tahu. Maka bagaimana mungkin aku sama dengannya?'

4.    Apabila engkau bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu dan wawasan, katakan dalam hatimu, 'Orang ini durhaka kepada Allah kerana ketidaktahuannya sedangkan aku durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku. Maka hukuman Allah kepadaku lebih berat dibanding orang ini. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir hidupku dan akhir hidup orang ini.

5.    Apabila engkau melihat orang kafir, maka katakan dalam hatimu, 'Aku tidak tahu, boleh jadi dia akan masuk Islam dan mengisi akhir hidupnya dangan amal kebaikan, dan dengan keislamannya itu dosa dosanya keluar dari dirinya seperti keluarnya rambut dari timbunan tepung. Sedangkan aku, boleh jadi tersesat dari Allah (karena ujub memuja diri dan memandang rendah orang lain) dan akhirnya menjadi kafir, dan hidupku berakhir dengan amal buruk. Orang seperti ini boleh jadi besok menjadi orang yang dekat dengan Allah dan aku menjadi orang yang jauh dari Allah'. 

Sebagaimana  Firman Allah SWT dalam Alquran Surat an-Najm ayat 32 :

فَلَا تُزَكُّوۡۤا اَنۡفُسَكُمۡ‌ ؕ هُوَ اَعۡلَمُ بِمَنِ اتَّقٰ

“Maka janganlah engkau menilai dirimu lebih suci (dibanding orang lain). Dia (Allah) lebih tahu siapa orang-orang yang bertakwa.” (Surah an-Najm ayat 32). Wallahua’lam bisshowab

Posting Komentar untuk "Tumbuhkan Sikap Tawadhu Dalam Diri, Gapai Ridho Illahi Robbi"