Keraguan dan Hawa Nafsu Versus Pembenaran Terhadap Wahyu dan Ketaatan
Keraguan dan Hawa Nafsu
Versus
Pembenaran Terhadap Wahyu dan Ketaatan
(Oleh:Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpandangan bahwa Keraguan dan Hawa nafsu merupakan
pangkal kesengsaraan hamba dan menjadi penyebab penderitaan dalam kehidupan di dunia
dan di akhirat kelak. Namun Sebaliknya, pembenaran terhadap wahyu dan ketaatan terhadap
perintah Allah swt merupakan pangkal kebahagiaan dan keberuntungan hamba di
dunia dan akhirat.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah pun menambahkan
pandangannya bahwa dalam diri seorang hamba terdapat dua kekuatan, yaitu :
Pertama. Adalah kekuatan untuk mengetahui dan menganalisis, serta segala
sesuatu yang menjadi konsekuensi dari keduanya, berupa ilmu,
pengetahuan dan kemampuan dalam hal berbicara
atau berkomunikasi..
Kedua. yaitu kehendak atau keinginan dan rasa
cinta, serta segala hal yang mengikutinya, berupa niat, tekad, dan perbuatan atau
tindakan.
Keraguan dalam diri akan, melemahkan kekuatan dalam
analisis ilmiah selama tidak dilawan untuk dihilangkan. Syahwat membuat kekuatan
kehendak untuk menunaikan perintah menjadi lemah selama tidak dibersihkan.
Saat menginformasikan kepada para sahabat
Rasulullah tentang kesucian dan terhindarnya diri Rasulullah saw. dari
kesalahan, maka Allah SWT berfirman, dalam QS.a-Najm ayat 1 dan 2 :
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىٰ
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ
"Demi
bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru."(al-Najm: 1-2)
Tidak tersesatnya Nabi Muhammad saw ini
menunjukkan kesempurnaan ilmu dan pengetahuan yang dimilki oleh beliau. Dengan demikian,
hal ini menunjukkan bahwa segala berita yang beliau bawa dan sampaikan kepada
umatnya adalah benar adanya. Tidak kelirunya beliau telah menunjukkan
sempurnanya kebenaran yang beliau bawa, dan menunjukkan bahwa beliau adalah
manusia pilihan di dunia ini. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa beliau
adalah sosok seorang hamba yang sempurna ilmu dan amalnya. Beliau, Rasulullah
saw pun telah menyebutkan bahwa para Khulafa'urrasyidin mempunyai sifat-sifat
yang layak menjadi panutan, sebagaimana sabda. Rasulullah saw:,
أُوْصِيْكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ
عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Saya
wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada
pemimpin meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena barang
siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan
banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah Khulafaur
rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan
kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan
(dalam agama), karena semua perkara bid’ah adalah sesat.“ (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahihul Jami’ no.
2549
Berdasarkan redaksi hadits di atas maka kata Ar-raasyid
(yang mendapat petunjuk) merupakan lawan makna (Antonim) dari al-ghaawi
(yang tersesat) dan kata al-mahdi
(mendapatkan petunjuk) adalah lawan makna (Antonim) dari kata adh-dhalaal
(tersesat).
Dalam QS.at-Taubah ayat 69, Allah SWT berfirman,
كَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ
مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلَاقِهِمْ
فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلَاقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَاقِهِمْ
وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا ۚ أُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“keadaan
kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti keadaan orang-orang
sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan
anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu
telah menikmati bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati
bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka
mempercakapkannya. Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di
akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi” (at-Taubah: 69)
Dalam ayat tersebut di atas, Allah SWT
menyebutkan bahwa ada dua hal yang merupakan penyakit manusia terdahulu dan manusia
yang akan datang kemudian.
Pertama., Mereka bersenang-senang dengan jatah rezeki yang telah mereka terima
di dunia. Hanya saying, dengan jatah rezeki ini, mereka mengikuti hawa nafsu
yang menjadi penghalang diri mereka untuk menjalankan perintah Allah swt. Berbeda
halnya dengan orang-orang mukmin. Meskipun mereka memperoleh bagian rezeki
mereka di dunia, tapi mereka tidak menikmati semuanya dan tidak pula
menghabiskan umur mereka hanya untuk menikmati kesenangan dalam kehidupan dunia
belaka. Akan tetapi, mereka menggunakan bagian dunia mereka untuk membuat
mereka mampu mencari dan menyiapkan bekal
bagi kehidupan mereka di akhirat nanti.
Kedua. Mereka lebih suka membicarakan hal-hal yang meragukan dan tidak mengandung
nilai kebenaran. Mereka ini adalah jiwa-jiwa yang tersesat, yang tidak
diciptakan untuk kehidupan akhirat. Mereka senantiasa melampiaskan syahwa atau
hawa nafsunyat. Dan ketika mendapatkannya, maka mereka hanya memperbincangkan
hal-hal batil yang tidak bermanfaat di dunia dan di akhirat.
Perlu kita ketahui bahwa di antara
kesempurnaan hikmah Allah SWT, Dia menguji jiwa manusia dengan penderitaan
dan kesusahan
untuk mencapai keinginan dan hawa nafsunya. Oleh karena itulah,
hanya sedikit jiwa yang tidak terjerumus ke dalam kebatilan. Seandainya
jiwa-jiwa itu hanya mengejar hal-hal yang penuh kebatilan, maka sesungguhnya mereka
akan menjadi para penyeru untuk menuju ke neraka. Inilah perihal mereka yang
hanya berkonsentrasi pada kebatilan, sebagaimana tampak dalam realita kehidupan
nyata.
Makna 'kalian
memperbincangkan' dalam ayat 69 QS. At-Taubah di atas adalah 'seperti kelompok yang memperbincangkan',
atau 'bagaikan dua kelompok yang telah memperbincangkan', jadi kata al-ladzi
di sini adalah untuk tunggal atau plural. Hal ini juga sebagamaina terdapat
dalam firman Allah dalam QS.az-Zumar ayat 33 s.d 34,
وَٱلَّذِى جَآءَ بِٱلصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِۦٓ
ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
لَهُم مَّا يَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ
جَزَآءُ ٱلْمُحْسِنِينَ
"Dan
orang-orang yang (al-ladzi) membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya,
mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka
kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat
baik”, (az-Zumar: 33-34)
Kembali pada petikan QS. At-Taubah ayat 69, sungguh Allah SWT mencela mereka
karena memperbincangkan hal-hal yang batil dan mengikuti hawa nafsu. Allah SWT
juga memberitahukan bahwa orang yang demikian keadaannya, maka ia akan
kehilangan amal perbuatannya di dunia dan di akhirat, dan dia termasuk
orang-orang yang merugi. Padanan makna ayat di atas adalah perkataan penghuni
neraka kepada penghuni surga di saat mereka ditanya penyebab mereka masuk ke
dalam neraka, sebagaimana dikisahkan dalam ayat QS.al-Muddatstsirayat 43 s,d 46
berikut ini,
قَالُوا لَمْ
نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
وَلَمْ نَكُ
نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ
وَكُنَّا نَخُوضُ
مَعَ الْخَائِضِينَ
وَكُنَّا نُكَذِّبُ
بِيَوْمِ الدِّينِ
"Mereka
menjawab, 'Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang menjalankan shalat dan
kami tidak pula memberi makanan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang
batil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya dan adalah kami
mendustakan hari pembalasan." (al-Muddatstsir: 43-46)
Hikmah yang dapat dipetik dari ayat 43 s.d 46 dalam QS. al-Muddatstsir ini
disebutkan bahwa terdapat dua faktor penyebab sehingga sekelompok orang
dimasukkan ke neraka adalah: Pertama, membicarakan hal yang
batil, yang membuat mereka mendustakan hari pembalasan. Kedua, mengikuti
tuntutan syahwat dengan konsekuensi meninggalkan shalat
dan tidak memberi makan orang-orang miskin. Inilah dua penyebab masuknya
mereka ke neraka. Semoga diri kita dan seluruh anggota keluarga kita dijauhkan
dari kebiasaan berbicara tentang kebatilan yang akan mendustakan hari
pembalasan dan tidak termasuk orang-orang yang selalu mengikuti sahwat yang
akhirnya berdampak kepada kebiasaan meninggalkan shalat dan tidak memberi makan
kepada orang-orang miskin.
Posting Komentar untuk "Keraguan dan Hawa Nafsu Versus Pembenaran Terhadap Wahyu dan Ketaatan"