Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Waspada, ada 5 Tanda-Tanda Orang yang Celaka

 

Tanda Manusia Celaka

 Waspada, ada 5 Tanda-Tanda

Orang yang Celaka

Al-Imam Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah adalah seorang tokoh terkemuka dari generasi tabi’ut tabi’in. Al-Fudail bin Iyadh adalah sosok ahli ibadah yang banyak menghabiskan waktunya di Mekah dan Madinah. Kehidupannya penuh dengan cahaya ilmu, amal serta istiqomah dalam membela kebenaran. Dan salah satu kelebihannya yang dianugerahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya adalah di munculkan banyak hikmah melalui lisannya. Salah satu pernyataan Beliau adalah: “Lima tanda celakanya seseorang adalah kerasnya hati, mata yang tidak bisa menangis, sedikitnya rasa malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan.” Berikut ini penjelasannya :

Pertama; Keras Hati

Setiap insan itu mempunyai sifat yang berbeda-beda. Sifat tersebut pun kadangkala bisa berubah-ubah setiap saat/ setiap waktu. Begitu pula dengan hati ini, ia pun sama juga memiliki sifat. Kadang Hati ini bisa menjadi sehat dan juga kadangkala bisa menjadi sakit. Sebagaimana Firman Allah S.W.T :

 وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ غَرَّ هَؤُلَاءِ دِينُهُمْ

“…Dan mereka (orang-orang) yang terdapat penyakit di dalam hati-nya berkata, ‘Mereka itu (orang-orang mu’min) ditipu oleh agama nya.” (Al-Anfâl : 49)

Hati ini juga kadang bisa menjadi lunak dan kadang kala juga bisa menjadi keras. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman :

 ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً

“Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (QS Al-Baqarah : 74)

Terdapat banyak penyebab kerasnya hati seseorang. Salah satunya sering melakukan perbuatan maksiat. Hati yang keras merupakan tanda bahwa ia memiliki penyakit hati, dan jika dibiarkan bisa menyebabkan hatinya mati. Sehingga Allah SWT menutup hati orang tersebut untuk melakukan hal-hal kebaikan.

Hati yang keras ini disebutkan dalam firman Allah SWT:

أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِنْ رَبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah SWT hatinya untuk (menerima) agama islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang hatinya keras)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya keras untuk mengingat Allah SWT. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22)

Jika hati seseorang sudah terlanjur keras, maka ia akan susah untuk menerima kebenaran atau nasihat dari orang lain, dan ia akan terus menerus mengikuti hawa nafsunya.

Dalam sebuah hadits meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW pernah berdoa dalam shalatnya,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah … aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa puas, dan dari doa yang tidak didengar (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Dawud no. 1548, An-Nasa’i no. 5536, dan Ibnu Majah no. 3837. Hadits ini shahih.

Kedua; Kering di Mata

Pernahkah anda seumur hidup menangis karena Allah? Menangisi dosa-dosa kita? Menangisi kelemahan kita di hadapan Allah? Kita tidak bisa tiba-tiba menangis karena Allah begitu saja, kita tidak bisa merencanakan tangisan ini, kita tidak bisa menangis sesuai keinginan kita. Akan tetapi tangisan ini, timbul karena takut kepada Allah, bergetar hatinya karena nama Allah disebut dan berguncang jiwanya ketika mengingat maksiat dan dosa yang ia lakukan, oleh karena itu inilah tangisan keimanan, tangisan kebahagiaan dan tangisan hanifnya jiwa.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2)

Bagaimana kita bisa bangga menisbatkan diri sebagai muslim yang beriman, tetapi kita tidak pernah merasa takut kepada Allah, air mata mengering, seolah-olah merasa aman dengan maksiat dan dosa yang ia lakukan. Beginilah ciri seorang yang beriman (mukmin) sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ » . فَقَالَ بِهِ هَكَذَ

Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang” (HR.Tirmidzi no.2497 dishahihkan oleh Al-Bani)

Oleh karena itu, tangisilah diri kita, tangisilah hati kita yang mungkin sudah mati dan tangisilah jiwa kita yang tidak bisa menampung sedikit saja tetesan keimanan, serta tangisilah mayat jasad atau tubuh kita yang kita bawa  berjalan dalam kemaksiatan di muka bumi ini karena ia hakikatnya telah mati. Semoga dengan menangisi diri kita, Allah berkenan membuka sedikit hidayah sehingga kita menjadi hamba  yang berjiwa hanif.

Sebagaimana seruan sebuah ayat yang membuat seorang ulama besar Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah bertaubat, yang dulunya beliau adalah kepala perampok yang sangat ditakuti dijazirah Arab, ayat tersebut adalah,

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka dengan mengingat Allah dan kebenaran yang diturunkan. Dan janganlah mereka menjadi seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan Al Kitab, masa yang panjang mereka lalui (dengan kelalaian) sehingga hati mereka pun mengeras, dan banyak sekali di antara mereka yang menjadi orang-orang fasik.” (Al Hadid: 16)

Ketiga; Sedikit Rasa Malu

Dari Ibnu ‘Umar dia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, :

الْـحَيَاءُ مِنَ الإيْمَـانِ

“Malu bagian dari keimanan” (HR. Bukhari no. 44 dan Muslim no. 36.)

Dalam hadits yang lain Nabi bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).

Malu terbagi menjadi dua macam, makhluk yang bersifat manusiawi dan makhluk yang bersifat imaniyah. Malu manusiawi adalah rasa malu yang dimiliki oleh semua manusia, seperti membuka aurat dan lainnya. Sedangkan malu imaniyah adalah malu untuk mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan keimanan, seperti meninggalkan zina, berjudi dan sebagainya.

Terkadang malu merupakan tindakan paling manis dalam menyikapi lika-liku kehidupan. Sedikit malu artinya adalah ia miskin akan sikap malu. Ia lebih suka bertindak tak tahu malu dibandingkan harus bersikap malu.

Saat ia melakukan dosa besar dan matanya pun tetap kering (tidak menangis dan menyesal memohon ampun kepada Allah), setidaknya ia harus ada sikap malu dalam hatinya (karena telah berbuat dosa). Tapi kalau sebaliknya, matanya tetap kering dan malu pun tak nampak dalam dirinya, niscaya ia termasuk golongan orang-orang yang celaka.

Keempat; Ambisi dalam Dunia

Sungguh dunia bagi kebanyakan manusia (kecuali yang Allah rahmati) melenakan dan telah memperdaya diri mereka. Bahkan dunia membuat manusia lalai dalam urusan akhiratnya. Semua waktu yang tersedia, siang dan malam, bahkan usianya, ia habiskan untuk mengumpulkan harta dunia. Ambisinya menguasai harta melalaikannya dari urusan akhirat.

Ibnu Rajab menggolongkan manusia dan ambisi mereka terhadap harta dunia ke dalam dua golongan. 

Golongan pertama adalah mereka yang sangat mencintai harta. Mereka semangat dalam mencarinya dengan cara yang mubah. Dan mereka cenderung berlebihan dalam mendapatkan dan mengusahakannya. Meskipun dengan cara yang dibolehkan, atau halal hukumnya, tetapi ambisi mereka dalam mencari dan mengumpulkan harta, telah melalaikan mereka dari mengingat Allah dan menyiapkan bekal kehidupan untuk di akhirat nanti. Jelas hal ini adalah tercela. Boleh jadi, kondisi inilah yang kebanyakan dapat kita temui saat ini.

Golongan kedua adalah manusia yang kondisinya lebih buruk dari golongan pertama. Ambisi pribadi mereka terhadap dunia sudah di luar batas kewajaran. Sehingga golongan dua ini mencari dan menumpuk harta dunia dengan tidak peduli lagi dari mana dan bagaimana caranya mereka dapatkan. Mereka mengumpulkan harta dunia dengan cara yang diharamkan Allah. Mereka juga tidak menegakkan hak-hak harta sesuai dengan syariat Islam. Perut mereka dipenuhi dengan harta haram. Mereka merasa apa yang telah diraihnya adalah dari hasil usahanya semata. Mereka menjadi sangat takut kehilangan hartanya. Mereka malas bersedekah dan tidak ada sedikit pun rasa empati kepada saudanya yang dalam kondisi kesusahan.. Mereka jatuh dalam sifat kikir yang tercela.

Kita berharap dan berdoa semoga Allah akan memberi hidayah kepada kita dan menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang tidak dilalaikan oleh dunia.

 

Kelima; Panjang Angan-Angan

Hasan Al-Bashir berkata, ”Tidaklah seorang hamba berpanjang angan-angan melainkan akan merusak amalannya” (Al Bayan wat Tabyin, jilid III, hal 74).

Ali Bin Abi Thalib berkata, ”Keberuntungan menghampiri orang yang tidak mencarinya, tamak menjanjikan sesuatu yang sulit dipenuhi, angan-angan membuat buta mata orang cerdik dan siapa yang panjang angan-angan pasti menuai amal yang buruk” (Faraidul Kalam li Khulafail Kiram, Qashim Ashar, hal 345).

Panjang angan-angan merupakan sebuah penyakit kronis yang sering menimpa orang yang lemah iman dan tipisnya rasa takut pada Allah Ta’ala. Terlebih lagi setan laknatullah terus menggoda manusia untuk merasakan kelezatan hingga ia seolah-olah akan hidup seribu tahun. Pikirannya disibukkan untuk merancang masa depan yang indah dengan kekayaan yang berlimpah dan hidup mewah. Nyaris  detik, jam dan hari-harinya berputar sekitar dunia tanpa diiringi bagaimana merancang kehidupan dunia dan akhirat dengan berpedoman pada perintah Allah swt.

Saat dikatakan: “segeralah mengejar ketinggalanmu dalam meraih nikmat dan indahnya beramal shalih”. Mereka berkata: “Usiaku masih begitu muda harus dinikmati, nanti saja beribadah ketika menjelang senja”. Siapa yang menjamin umur kita panjang? Setan selalu membisikkan manusia untuk menunda-nunda beramal shalih. Berbagai dalih seolah membuat para pencinta dunia terpesona gebyar fatamorgana yang sejatinya sangat membinasakan. Lantas apa kiat taktis agar tidak terjerumus pada panjang dengan angan?

1.    Menyadari hakikat dunia

Dunia hanyalah tempat pesinggahan sementara, ia ibarat mimpi sedangkan akhirat adalah kepastian dan tujuan hidup yang sesungguhnya. Fudhail bin Iyadh berkata, ”Sekiranya dunia itu emas yang segera fana dan akhirat seperti tembikar yang akan kekal maka seyogyanya engkau memiliki tembikar yang kekal daripada emas yang akan segera fana. Lantas, bagaimana sekiranya dunia itu sebuah tembikar yang akan segera fana, sedangkan akhirat adalah emas yang kekal” (Mukasyafatul Qulub, hal 127).

Al Hurawi berkata, ”Tidak terkumpul kecintaan kepada dunia dan kecintaan Allah serta akhirat. Kedua kecintaan ini tidak akan bersemayam dalam satu tempat namun salah satu dari keduanya pasti akan mengusir yang lainnya dan akan menguasai tempat tersebut. Sesungguhnya jiwa manusia itu satu. Bila ia disibukkan dengan sesuatu maka ia akan terputus dari tandingannya” (Faidhul Qadir, Abdurrauf Al Munawi, Beirut, Darul Nahdhah al Haditsah, Jilid III, hal 396)

 

2.    .Menjadikan akhirat sebagai obsesi terbesar

Panjang angan-angan terhadap perkara yang berdimensi dunia hingga mengabaikan kehidupan yang bernilai ukhrawi bisa ditepis dengan selalu menghadirkan kebahagiaan hidup akhirat kelak di surge-Nya.. Mengejar kehidupan akhirat merupakan tujuan asasi dan mengambil dunia sesuai dengan kebutuhannya. Rasulullah SAW  telah bersabda:

Barangsiapa obsesinya akhirat maka Allah akan mengumpulkan urusannya yang terserak, menjadikannya kecukupannya dalam hati dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Barangsiapa obsesinya adalah dunia maka Allah akan mencerai beraikan urusannya, menjadikan kefakiran didepan matanya dan ia hanya akan mendapatkan dunia apa yang telah ditentukan oleh Allah untuknya” (HR. Ibnu Majah, dari Zaid bin Tsabit. Dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami’ Ash Shoghir no. 6392).

 

3.    Mengingat kematian

Kematian adalah nasihat bagi orang merindukan akhirat pemutus segala nikmat. Betapa banyak angan-angan yang hancur karena ajal telah tiba. Beliau berwasiat : “Rasulullah pernah membuat sebuah garis seraya bersabda, ”ini adalah manusia lalu beliau membuat garis lagi di sampingnya seraya berkata, ”Ini adalah ajalnya”. Lalu beliau membuat garis lain yang jauh dari garis sebelumnya serta bersabda,”Ini adalah angan-angannya. ”Ketika ia berada seperti itu tiba-tiba datanglah garis yang paling dekat (ajalnya)” (HR. Bukhari).

Sebagai orang beriman tentunya kita berobsesi meraih kecintaan Allah Ta’ala menjadi orang yang bertaqwa (Muttaqin), dihindarkan dari azab kubur diselamatkan dari neraka dan menjadi penghuni surga. Hal ini bukan sekedar angan-angan semu tetapi kita harus beramal, bersemangat, meraih kemuliaan dan menapaki jalan menuju cita-cita yang diridhai-Nya. Semoga Allah memudahkannya. Dan menghindarkan diri kita dari 5 Tanda-tanda orang Celaka.

Posting Komentar untuk "Waspada, ada 5 Tanda-Tanda Orang yang Celaka"