Menangis Itu Sehat (Dalam Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah) Bagian Pertama
Menangis Itu Sehat
(Dalam Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah)
Bagian
Pertama
Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.
Mari
kita perhatikan hikmah dan manfaat seringnya anak-anak bayi menangis. Para
tabib mengakui hikmahnya. Mereka menyatakan bahwa di otak anak bayi ada
kelembaban yang seandainya berdiam di sana akan berakibat fatal. Tangisan
mereka mengalirkannya keluar dari otak sehingga otak jadi kuat dan sehat. Tangisan
mereka itu melebarkan saluran pernafasannya, membuka dan memperkuat urat
syaraf. Betapa banyak manfaat dan maslahat bagi anak kecil dari tangisan dan
jeritannya yang kamu dengar. Apabila hikmah ini terkandung dalam tangisan yang
sebabnya adalah adanya rasa sakit sedang kamu tidak mengetahuinya dan hampir
tidak terbetik di dalam benakmu, maka demikian pula sakitnya anak-anak. Sebab
dan akibat sakit itu mengandung hikmah yang tidak diketahui oleh kebanyakan
manusia.
Tampak
beragam pendapat tentang hikmahnya. Satu pihak mengatakan bahwa itu tidak lain
hanya kehendak Tuhan, tidak ada hikmah dan tujuan di balik itu. Mereka menutup
diri untuk membahas hikmah ini sama sekali. Kalau mereka ditanya, mereka
menjawab dengan firman-Nya,
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
"Dia tidak ditanya tentang apa yang
dilakukan-Nya." (QS.al-Anbiyaa":23).
Sesungguhnya,
Firman-Nya ini benar, sama sekali tidak ada kesalahan. Akan tetapi, maksudnya
bukan meniadakan hikmah dari perbuatan-perbuatan-Nya. Maksud ayat itu adalah
mengesakan-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah. Karena
kesempurnaan hikmah-Nya, maka tidak ada yang mengomentari keputusan-Nya, dan
tidak ada yang membantah-Nya dengan mengajukan pertanyaan. Pasalnya, Allah swt
tidak melakukan sesuatu secara percuma, tidak menciptakan sesuatu pun dengan
sia-sia. Yang dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya hanya orang yang
melakukan kesalahan atau perbuatannya tidak bermanfaat. Tidakkah Anda membaca
firman-Nya,
أَمِ اتَّخَذُوا آلِهَةً مِنَ الْأَرْضِ هُمْ يُنْشِرُونَ
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا ۚ فَسُبْحَانَ
اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
"Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari
bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang mati)?" Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah
rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka
sifatkan. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan
merekalah yang akan ditanyai. (QS.al-Anbiyaa : 21 -23)
Sesungguhnya
Allah swt menyitir ayat ini untuk mengungkapkan kecaman atas orang yang
mengambil Tuhan yang tidak setara dengan-Nya yang berusaha untuk disetarakan
padahal perbedaan keduanya amat jelas. Firman Allah yang berbunyi, "Dia tidak ditanya tentang apa yang
diperbuat-Nya” mengandung itsbat (penetapan) hakikat ketuhanan untuk
diri-Nya semata. Firman-Nya, "Dan
merekalah yang akan ditanyai" arti tentang kelayakan Tuhan-Tuhan yang
mereka ambil itu untuk menjadi Tuhan. Sesungguhnya Tuhan-Tuhan itu akan
ditanyai juga dan mereka tidak lebih dari makhluk yang sama sekali tidak
berdaya. Bagaimana orang tadi menyamakan Tuhan-Tuhan itu dengan-Nya padahal
amat jelas berbeda? Inilah maksud kandungan ayat. Namun, penganut Jabariyyah
menjadikannya sebagai argumen dalam mengingkari hikmah-Nya dan pencarian sebab
atas perbuatan-perbuatan-Nya. Semoga Allah SWT menuntun kita kepada jalan yang
benar.
Terdapat
kelompok lain berkata, hikmah dari cobaan adalah mengganti hal itu di akhirat
dengan pahala yang sempurna. Jika dilakukan bantahan, "Bisa saja Allah SWT memberi mereka pahala
tanpa harus menimpakan sakit ini," mereka menjawab, "Adanya sakit itu bagi mereka seperti
adanya taklif atas para mukallaf." Kalau dilakukan banytahan lagi, "Ini tidak berlaku pada sakitnya
anak-anak orang kafir," mereka menjawab, mengatakan mereka masuk
neraka seperti pendapat sebagian orang yang berpandangan demikian, karena tak
seorang pun masuk neraka tanpa dosa, dan anak-anak itu tidak memiliki dosa sama
sekali."
Demikianlah
terjadi dialog dengan mereka dalam masalah anak-anak bayi dengan mengajukan
alasan-alasan dalam masalah ini dari kedua pihak, yang di sini bukan tempat
untuk menyebutkannya. Mereka disanggah dengan sebuah masalah yang tidak dapat
mereka jawab, yaitu sakitnya anak-anak mereka yang mencapai baligh dan mati
dalam keadaan kafir. Secara pasti sakit mereka nanti tidak ada gantinya
(pahala), juga itu bukan hukuman atas kekafiran mereka, karena hukuman tidak
dijatuhkan di muka/sebelum perbuatan dosa. Mereka bingung menjawabnya, dan
pondasi mazhab mereka menjadi goyah. Mereka tidak dapat memberikan jawaban yang
dapat diterima akal.
Kelompok
ketiga berkata bahwa kalau yang mengajukan pertanyaan ini merenungkannya lagi,
tentu dia tahu bahwa itu tidak ada gunanya, dan bahwa berusaha mencari-cari
jawaban adalah kerja sia-sia untuk sesuatu yang tidak perlu. Karena, sakit,
faktor-faktor penyebabnya, dan akibatnya adalah sebagian dari unsurunsur
perkembangan manusia yang tidak dapat dihindari. la seperti panas, dingin,
lapar, haus, lelah, sedih, dan lemah. Bukankah tidak perlu ada pertanyaan
tentang hikmah kita perlu makan ketika lapar atau ingin minum saat haus dan
tidur juga istirahat saat lelah?
Jadi,
sakit adalah unsur penting dalam perkembangan yang tidak terpisah dari diri
manusia atau hewan. Kalau tidak mengalaminya, berarti bukan manusia, melainkan
malaikat, atau makhluk lain. Sakitnya anak-anak bayi itu tidak lebih berat dari
sakitnya orang-orang yang sudah baligh. Akan tetapi, karena mereka sudah biasa mengalaminya,
rasanya jadi ringan. Seberapa sih bedanya penderitaan yang dirasakan anak bayi
dan orang baligh? Semua itu tidak lebih dari tuntutan dia sebagai makhluk yang
bernama manusia. Kalau tidak seperti itu, tentu dia menjadi makhluk lain.
Jadi,
dia melihat jika anak bayi lapar, haus, kedinginan, atau kelelahan, dia telah
diberi jatah sakit tersendiri yang tidak dijatuhkan kepada orang yang sudah
dewasa. Sakitnya bayi dari berbagai jenis penyakit sama saja dengan
penderitaannya akibat lapar, haus, panas, dan dingin. Manusia atau bahkan hewan
tidak diciptakan melainkan dengan perkembangan seperti ini. Bila ada yang
bertanya, "Mengapa dia diciptakan sedemikian rupa? Mengapa tidak dicipta
tanpa mengalami rasa sakit?" Mereka menjawab, "Ini adalah pertanyaan yang
salah, karena Allah SWT menciptakannya di dunia cobaan, dari bahan yang lemah
sehingga mudah mengalami cacat dan gampang menderita sakit. Dia menciptakan
empat macam cairan pada tubuh yang hidupnya tergantung kepadanya. Dan, itu
pasti menyebabkan terjadinya percampuran atau reaksi antar cairan-cairan itu.
Mereka akan mengalahkan yang lain, kadang dengan kualitasnya, atau dengan
kuantitasnya, atau kadang juga dengan kualitas dan kuantitas yang dimilikinya.
Hal itu secara pasti menyebabkan timbulnya sakit.
Kemudian,
Allah SWT memberinya kekuatan, syahwat, dan kehendak yang mendorongnya bergerak
terus untuk mengambil apa yang bermanfaat baginya dan menolak yang
membahayakannya, kadang dengan dirinya sendiri, kadang dengan bantuan orang
lain. Dari sana timbullah pergaulan dan peristiwa saling menganiaya antara
mereka, yang menyebabkan terjadinya rasa sakit seperti yang timbul akibat
percampuran cairan-cairan di dalam tubuh." Rasa sakit memang tidak pernah
lepas dari percampuran ini, kecuali di negeri akhirat yang kekal, bukan di
negeri ujian dan cobaan. Maka, siapa yang menyangka bahwa yang dinamakan hikmah
adalah kalau karakteristik negeri akhirat itu diberikan kepada negeri ujian
ini, berarti dia salah sangka. Sebaliknya, hikmah yang sempurna dan luar biasa
telah menuntut kesehatan di negeri cobaan ini diiringi dengan sakit,
ketenteramannya dibarengi dengan keributan, kegembiraan diiringi dengan
kesedihan, dan seterusnya. Sebab, dunia ini memang negeri cobaan; berbagai kekurangannya
dinormalisir dengan sisi-sisi kelebihannya, sebagaimana diungkapkan seorang
penyair, "Aku berada di dunia cobaan
Mengusir bencana dengan bencana lainnya." Ungkapan ini amat tepat.
Jika Anda perhatikan makan, minum, pakaian, senggama, istirahat, dan hal-hal
lain yang lezat, Anda dapati ia menolak sakit yang menjadi lawannya. Bukankah
dengan makan Anda menolak rasa sakitnya lapar, dengan minum menolak sakitnya
dahaga, dengan pakaian menolak sakitnya panas dan dingin? Demikian seterusnya.
Karena itu ada yang berkata, "Lezatnya semua itu bagi kita tidak lebih
dari menolak sakit." Adapun kelezatan-kelezatan hakiki punya tempat yang
lain, bukan di sini.
Dengan
demikian, adanya sengsara dan bahagia yang bercampur baur itu merupakan salah
satu bukti adanya akhirat, dan bahwa hikmah yang menuntut adanya sengsara dan
bahagia itu pulalah yang menuntut adanya dua daar (tempat); yaitu, Pertama;
daar yang murni berisi kebahagiaan
dan kelezatan, tidak tercampuri oleh kesengsaraan, dan Kedua; daar yang murni untuk kesengsaraan,
tidak tercampuri dengan kelezatan sama sekali. Daar yang pertama adalah surga,
sedang yang kedua adalah neraka. Tidakkah Anda lihat bagaimana perkembangan
hidup Anda yang berisi dengan kenikmatan dan kesengsaraan itu mengandung bukti
akan surga dan neraka? Anda melihat pada diri Anda sendiri bukti-bukti
keberadaannya sampai seakan-akan kamu menyaksikannya dengan mata kepala.
Selanjutnya,
lihatlah bagaimana semua eksistensi alam yang kamu lihat dan kamu rasa menjadi
bukti hikmahnya Tuhan dan menjadi saksi kebenaran para rasul atas berita yang
mereka bawa berkenaan tentang surga dan neraka. Perhatikanlah bagaimana
perenungan terhadap hikmah Allah SWT mengantarkan akal dan fitrah manusia
kepada pengakuan akan kebenaran para rasul dalam berita yang mereka bawa secara
terperinci, padahal akal hanya dapat menunjukkannya secara global. Jelas amat
sulit dicapai oleh orang yang karena pengaruh 'kepandaiannya' mensejajarkan
antara kabar yang dibawa oleh para Rasul dan bukti-bukti akal. Akan tetapi,
akal-akal itu diperdaya oleh Tuhannya dan diserahkan-Nya kepada dirinya sendiri
sehingga mengalami banyak problem.
Tampaknya
dengan manfaatnya yang besar, poin ini serasa cukup untuk mewakili seluruh isi
kitab ini. Ini adalah beberapa untaian kata yang singkat dan bermanfaat dalam
masalah sakitnya anak-anak bayi. Mungkin Anda tidak menjumpainya dalam
buku-buku lain. Sekarang, kembalilah kepada dirimu, renungkanlah perbuatan-perbuatan
alami yang diciptakan pada diri manusia beserta hikmah dan manfaatnya serta
faktor pendorongnya. Lapar mendorong seseorang untuk makan, karena makan
menjadi gantungan hidup mati manusia. Rasa kantuk mendorong untuk tidur, karena
tidur membuat badan dan organ-organ tubuh rileks, kembali kuat dan segar. Nafsu
birahi mendorong untuk bersetubuh yang merupakan sebab kesinambungan keturunan
dan sarana melampiaskan syahwat yang mengandung kenikmatan. Anda dapati
faktor-faktor ini mendorong manusia untuk melakukan hal-hal di atas tanpa dia
memilihnya (ikhtiyar).
Sesungguhnya,
di sanalah terkandung hikmah. Sebab, seandainya manusia hanya merasakan
faktor-faktor pendorong itu jika dia menginginkannya saja, tentu ada saat-saat
tertentu di mana dia disibukkan oleh perkara lain, yang akibatnya dia jadi
lemah, dan bahkan mengarah kepada kematian, tanpa dia sadari. Misalnya, apabila
badannya memerlukan suatu obat tapi dia tidak mempedulikannya, hingga apabila
penyakit itu telah semakin menggerogotinya maka dia mati. Jadi, hikmah Tuhan
Yang Maha Lembut dan Maha Tahu menuntut Dia menciptakan faktor-faktor pendorong
(stimulus) pada diri manusia, yang mendorongnya sedemikian rupa melakukan apa
yang menjadi penopang hidupnya dan syarat kelangsungan dirinya, di mana faktor-faktor
itu mendatanginya tanpa ikhtiyar, tapi muncul begitu saja.
Allah
swt menjadikan tiap-tiap perbuatan ini penggerak dari alam itu sendiri,
penggerak yang menggerakkannya ke sana. Kemudian perhatikan berbagai macam
kekuatan yang Dia berikan kepada manusia, yang menjadi penopang kelangsungan
hidupnya! Dia memberikan kekuatan penarik dan pembangkit yang meminta
dipenuhinya makanan yang diperlukan. Kekuatan itu mengambil dan mengirimkannya
ke organ-organ sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dia juga memberikan
kekuatan 'pemegang' yang memegang dan menahan makanan itu sampai dimasak hingga
sempurna, dan disiapkan untuk pengiriman, lalu dikirimkan ke organ yang
memerlukan. Dia memberikan kekuatan pengunyah yang mengunyah makanan tersebut
di lambung. Kemudian Dia memberikan kekuatan pendorong, yaitu yang mendorong
sisa-sisa yang tidak berguna, keluar dari badan agar tidak membahayakan tubuh.
Siapa yang memberimu kekuatan ini ketika kamu amat membutuhkannya? Siapa yang
menjadikannya berkhidmat kepadamu? Siapa yang memberinya tugas-tugas yang
berbeda dengan tugas yang lain? Siapa yang mengakurkan meski amat berbeda
sehingga terkumpul menjadi satu kesatuan diri?
Kalau
Dia tidak mengakurkan mereka, tentu masing-masing akan saling menyingkirkan
yang lain. Siapa yang mencegah hal itu terjadi? Kalau tidak ada kekuatan
penarik, bagaimana kamu bergerak mencari makanan yang merupakan kebutuhan utama
badan? Kalau tidak ada kekuatan penahan, bagaimana makanan menjalar di dalam
perut sampai menjadi halus di lambung? Seandainya tanpa kekuatan pengunyah,
bagaimana makanan dimasak lalu yang bersih disaring untuk dikirimkan ke
bagian-bagian badan yang lain? Kalau tidak ada kekuatan pendorong, bagaimana
sisa makanan yang mematikan, seandainya tersumbat di dalam, keluar sedikit demi
sedikit, sehingga badan terasa lega, ringan, dan segar?
Coba Anda
perhatikan bagaimana kekuatan ini amat berguna bagi kamu! Badan itu seperti
istana yang di dalamnya ada para pelayan dan pembantu. Sang raja menugaskan
orang-orang merawat rumah tersebut. Ada yang bertugas memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan perlengkapannya. Ada yang bertugas memegang barang yang
datang, menjaga dan menyimpannya sampai selesai disiapkan dan diolah. Ada pula yang
bertugas memegangnya, mengolahnya, mengantarkan dan membagikannya ke penghuni
rumah sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Ada yang bertugas mengepel rumah,
menyapu, dan membersihkannya dari kotoran dan sampah.
Sang
raja di sini adalah Allah SWT. Istana itu adalah diri Anda. Para pelayan dan
pembantu itu adalah organ-organ tubuh. Sedangkan, para petugas di sana adalah
kekuatan-kekuatan yang kami sebutkan di atas. Perhatian. Ada perbedaan antara
pandangan seorang tabib dan seorang ilmuwan alam dalam hal-hal ini dengan
pandangan seorang mukmin yang arif. Pandangan tabib dan ilmuwan alam terbatas
pada pandangan tentang penjagaan kesehatan dan menolak sakit (dia memandang
dari sisi ini saja). Adapun pandangan seorang mukmin yang arif memandang
hal-hal itu sebagai dalil akan sang Pencipta, bukti tentang hikmah-hikmah dan
nikmat-nikmat-Nya yang yang diperintahkan untuk bisa disyukuri.
Kemudian
perhatikan hikmah Allah SWT dalam ingat dan lupa yang menjadi ciri khas
manusia! Perhatikan pula hikmah dan maslahatnya bagi hamba. Kalau bukan karena
kekuatan (potensi) hafalan yang khusus dikaruniakan kepadanya, tentu dia
mengalami kekacauan dalam segala urusannya. Dia tidak tahu apa yang
menguntungkan dan membahayakannya, apa yang seharusnya dia ambil dan apa yang
dia berikan, apa yang dia dengar dan lihat, apa yang dia katakan dan apa yang
dikatakan orang kepadanya. Dia tidak ingat orang yang berbuat baik dan yang
berbuat jahat kepadanya, orang yang memberinya pertolongan sehingga didekatinya
dan orang yang menyakitinya sehingga dijauhi. Dia tidak tahu jalan yang pernah
dia lalui sebelumnya meski dia telah melewatinya berulang kali. Dia tidak
mengetahui satu ilmu pun meski dia pelajari seumur hidup. Dia tidak mengambil
faedah dari suatu pengalaman. Dia tidak dapat memetik pelajaran dari kejadian
yang telah lalu. Bahkan, dia pantas untuk tidak disebut manusia.
Perhatikan
betapa besar manfaatnya untukmu! Satu saja sangat penting, apalagi faedah
keseluruhannya. Dan, di antara nikmat atas manusia yang amat menakjubkan adalah
nikmat lupa. Kalau bukan karena lupa, manusia tidak dapat melupakan sesuatu
pun, penyesalan tidak akan pernah terputus dari batinnya, musibah yang pernah
dialaminya terus menggelayuti pikirannya, kesedihan tidak akan pernah hilang,
kedengkian tidak pernah lenyap, dan dia tidak dapat menikmati barang-barang
duniawi karena selalu ingat pada berbagai kotoran yang menjijikkan. Dia tidak
dapat mengharapkan kelengahan musuh, atau pembalasan terhadap orang yang
dengki. Perhatikan betapa besar karunia Allah SWT di dalam ingat dan lupa.
Meski berbeda dan kontradiktif, masing-masing punya faedah khusus.
Sekarang
perhatikan sifat yang khusus dimiliki manusia, yaitu sifat malu, yang merupakan
salah satu akhlak paling agung dan paling banyak manfaatnya. Bahkan, ia adalah
sifat khas manusia. Orang yang tidak punya malu tidak lebih dari seonggok
daging dan tulang yang berbentuk manusia. Dia tidak punya kebaikan sama sekali.
Kalau bukan karena akhlak ini, seseorang tidak melayani tamu dengan ramah,
tidak menepati janji, tidak menunaikan amanah, tidak membantu orang lain, tidak
memilih perbuatan baik dan menghindari yang buruk, tidak menutupi aib orang
lain, dan tidak enggan berlaku keji. Banyak orang yang, kalau bukan karena malu,
tidak menunaikan satu pun kewajibannya, tidak memberikan hak makhluk, tidak
menyambung tali rahimnya, tidak berbakti kepada orang tua.
Karena,
stimulus perbuatan-perbuatan ini mungkin agamis (yaitu mengharapkan pahala),
atau duniawi (yaitu rasa malunya terhadap makhluk). Jadi, telah jelas bahwa
kalau bukan karena malu, baik terhadap sang Khalik maupun makhluk, tentu orang
tersebut tidak menjalankan kewajibannya. Dalam Sunan Tirmidzi dan yang lain
disebutkan hadits dari Nabi saw., "Malulah
kepada Allah sebenar-benarnya!" Mereka bertanya, "Bagaimana
benar-benar malu itu?" Beliau menjawab, "Kamu menjaga kepala dan
pikiran, perut dan apa yang ditampungnya, dan kamu ingat kubur dan
bencana." Beliau juga bersabda, ")ika kamu tidak malu, berbuatlah
sesukamu!"(HR Bukhari)
Dalam
hal ini terdapat dua pendapat. Yang paling benar adalah pendapat Abu Ubaid dan
mayoritas ulama bahwa maksudnya adalah tahdiid (ancaman), sebagaimana firman
Allah SWT,
اعْمَلُوا
مَا شِئْتُمْ
"Perbuatlah apa yang kamu kehendaki."
(QS.Fushshilat:
40)
Allah
swt pun berfirman:
كُلُوا
وَتَمَتَّعُوا قَلِيلًا إِنَّكُمْ مُجْرِمُونَ
"Makanlah dan bersenang-senanglah
kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek." (QS.al-Mursalaat:
46)
Pendapat
kedua mengatakan, itu adalah izin dan pembolehan. Artinya, "Bila engkau
ingin berbuat sesuatu, pikirkan dulu sebelum melakukannya. Kalau perbuatan ini
tidak patut dikerjakan, dan menimbulkan malu kepada Allah SWT dan manusia, maka
jangan kamu kerjakan. Tapi jika tidak menimbulkan malu, kerjakanlah karena itu
tidak jelek!" Menurut saya, bentuk kalimat ini adalah kalimat perintah
(thalab), sedang maknanya makna berita (khabar). Maknanya senada dengan
ungkapan, "Orang yang tidak malu akan melakukan apa yang
disenanginya." Ungkapan seperti ini tidak berarti izin, tidak juga
semata-mata ancaman, melainkan sejenis berita yang artinya, "Yang mencegah
perbuatan buruk adalah sifat malu.
Orang
yang tidak malu, akan berbuat apa saja semaunya." Pengungkapan makna ini
dalam bentuk thalab punya rahasia tersendiri, yaitu bahwa pada diri manusia ada
dua 'pemerintah' dan dua 'penggertak'. (1) Pemerintah dan penggertak dari sisi
malu, kalau ia menurutinya ia tidak mau melakukan semua hal yang diinginkannya.
(2) Pemerintah dan penggertak dari sisi hawa nafsu dan insting; siapa yang
tidak menuruti pemerintah dan penggertak malu pasti akan menuruti perintah
nafsu syahwat.
Jadi
mengungkapkan kalimat di atas dengan bentuk thalab mengandung makna ini,
berbeda kalau diungkapkan dengan bentuk khabar, seperti, "Siapa yang tidak malu akan melakukan apa yang
diinginkannya."
Posting Komentar untuk "Menangis Itu Sehat (Dalam Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah) Bagian Pertama"