Menangis Itu Sehat (Dalam Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah) Bagian Kedua
Menangis Itu Sehat
(Dalam
Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah)
Bagian
Kedua
Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.
Coba
perhatikan tentang nikmat Allah SWT kepada manusia dalam bentuk dua alat
penjelas: ucapan dan tulisan. Dia menghitungnya sebagai salah satu
nikmat-Nya atas manusia. Dalam surah pertama yang turun kepada Rasulullah Dia
berfirman,
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
خَلَقَ
الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
الَّذِي
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
عَلَّمَ
الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal .darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS.
al-'Alaq: 1-5)
Perhatikan
bagaimana dalam untaian kalimat-kalimat (ayat-ayat) tersebut di atas Allah swt
menyebutkan seluruh tingkatan makhluk! Perhatikan bagaimana firman ini mencakup
peringkat empat wujud dengan lafal yang sangat singkat, jelas dan indah. Pertama, Dia menyebut
penciptaan secara umum, yaitu pemberian wujud luar (kepada benda-benda).
Kemudian kedua, Dia menyebutkan penciptaan manusia secara khusus karena
dia adalah objek ibrah dan karena tanda kekuasaan-Nya pada dirinya sangat
besar. Di sini Dia menyebutkan bahan penciptaannya adalah dari 'alaqah.
Di tempat lain Dia "menyebutkan bahan sebelum 'alaqah; baik bahan primer
yaitu tanah (turab), lumpur (thin), dan tanah kering seperti tembikar
(shalshal kal-fakhhar); atau bahan sekunder, yaitu maa' mahiin (air mani yang
hina). Dan, di sini Dia menyebutkan fase pertama dari penciptaan
manusia yaitu 'alaqah; karena dia sebelumnya berbentuk mani (nuthfah),
perubahannya yang pertama adalah ke bentuk 'alaqah itu.
Kemudian
yang ketiga,
Allah swt menyebutkan pengajaran dengan pena yang merupakan salah satu
nikmat-Nya yang paling agung sebab dengan pena ilmu menjadi abadi, hak terjaga,
wasiat terpelihara, persaksian terpelihara, transaksi dicatat, sejarah orang
dahulu ditulis untuk generasi masa depan. Kalau tidak ada tulisan, pasti berita
suatu zaman tidak dapat diketahui pada zaman berikutnya, hukum-hukum akan
terhapus, dan generasi khalaf tidak mengetahui mazhab-mazhab para salaf (para
ulama terdahulu). Kebanyakan masalah, baik religius atau duniawi, hanyalah
menimpa manusia akibat lupa yang menghapus ilmu dari dalam batin mereka.
Oleh
karena itu, Allah swt menjadikan kitab sebagai wadah yang menjaga ilmu agar
tidak sirna, seperti wadah yang menjaga barang-barang agar tidak hilang dan
rusak. Jadi, nikmat Allah SWT dengan mengajarkan pena setelah Al-Qur’an
termasuk nikmat yang paling agung. Pengajaran dengannya, meski dapat diraih
oleh manusia dengan kecerdasan dan daya upayanya, sesungguhnya pena itulah yang
mengantarkannya kepada ilmu sebagai anugerah Allah SWT, keutamaan, dan
kelebihan yang diberikan-Nya. Allahlah yang mengajarinya menulis meski dialah
yang belajar.
Jadi,
perbuatannya adalah sekedar ikutan terhadap pengajaran zat yang mengajari
dengan pena. Dia mengajarinya sehingga tahu sebagaimana Dia mengajarinya
berbicara sehingga dia dapat bercakap-cakap. Demikianlah.... dan siapa yang
memberinya akal untuk memahami, lidah yang mengungkapkan maksudnya, jari-jari
untuk menulis? Siapa yang menyiapkan akalnya untuk menerima pengajaran ini,
sementara hewan-hewan tidak memiliki akal? Siapa yang membuat lidahnya dapat
berbicara dan jari-jarinya bergerak? Dan, siapa yang menyokong jarijari itu
dengan telapak tangan, dan mendukung telapak dengan lengan?
Betapa
banyak ayat yang tidak kita sadari dalam pengajaran dengan pena! Berhentilah
sejenak dan renungkan aktivitas menulis! Perhatikan keadaanmu ketika kamu telah
memegang pena padahal dia adalah benda mati, kamu meletakkannya di atas kertas
padahal dia juga benda mati. Dari keduanya lahirlah bermacam hikmah dan ilmu,
korespondensi, khutbah, puisi, roman, dan jawaban berbagai masalah.
Siapa
yang memunculkan untaian ide di kepalamu lalu mengungkapkan ekspresinya melalui
lidah kemudian menggerakkan jari-jarimu untuk menulisnya sehingga menjadi tulisan
ajaib yang maknanya lebih ajaib dari bentuknya? Dengannya kamu melaksanakan
hasrat, menyampaikan keinginan di dalam dada, mengirimkannya ke daerah-daerah
yang jauh. Tulisan itu mewakili dirimu, mengungkapkan maksud hatimu, berbicara
dengan lisanmu, mengganti posisi utusanmu, mampu menunaikan apa yang tidak
dapat dilaksanakan oleh orang yang kamu utus. Siapa yang melakukan itu semua
selain zat yang telah mengajarkan dengan pena dan mengajari manusia apa yang
tidak diketahuinya?
Sesungguhnya,
pengajaran dengan pena menuntut adanya tiga tahap: tahap wujud dzihny (buah
pikiran), wujud lafzhy (ungkapan bahasa), dan wujud rasmy (tulisan).
Pengajaran dengan pena telah menunjukkan bahwa Dialah yang memberikan
tahapan-tahapan ini. Sedang firman-Nya 'khalaqa' menunjukkan bahwa Dia
memberikan wujud 'ainy. Dengan demikian, ayat-ayat ini meski demikian ringkas
namun amat fasih, menunjukkan bahwa seluruh tahapan wujud berasal dari-Nya,
baik penciptaan maupun pengajaran. Dia menyebutkan dua penciptaan dan dua
pengajaran: penciptaan umum dan khusus, juga pengajaran umum dan khusus. Dia
juga menyebutkan salah satu sifat-Nya di sini, yaitu nama al-Akram yang mengandung
arti segala kebaikan dan segala kesempurnaan.
Bagi
Dialah segala sifat sempurna, dan dari Dialah segala perbuatan baik. Dialah
al-Akram pada zat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatanperbuatan-Nya. Penciptaan
dan pengajaran ini hanya timbul dari sifat karam-Nya, karunia dan anugerah-Nya,
bukan karena suatu hajat yang mendorong-Nya, karena Dia Maha Kaya. Sedang
firman-Nya dalam surah ar-Rahman ayat l-4,"(Tuhan)
Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al-Qur'an. Dia menciptakan manusia.
Mengajarinya bayaan," menunjukkan bahwa Allah SWT memberikan
tingkat-tingkat wujud seluruhnya.
Firman-Nya
'khalaqal insan' merupakan pemberitahuan tentang pemberian wujud kharijy 'ainy (eksistensi tubuh luar),
dan Dia mengkhususkan manusia dengan kata khalq di sini karena hikmah yang
telah dijelaskan di atas. Sedang firman-Nya 'allamal Qur’an adalah
pemberitahuan tentang pemberian wujud ilmy
dan dzihny (ilmu dan buah pikiran), karena manusia hanya dapat mengetahui
Al-Qur’an dengan pengajaran-Nya sebagaimana dia hanya menjadi manusia karena
Dia telah menciptakannya.
Jadi,
Dialah yang telah menciptakan dan mengajarinya. Kemudian Dia berfirman 'allamahul
bayaan. 'Bayaan' di sini mencakup tiga tingkatan yang masing-masingnya
disebut bayaan. Pertama: bayan dzihny. Pada tahap ini dibedakan antara berbagai
maklumat. Kedua: bayaan lafzhy yang mengungkapkan maklumat-maklumat
tersebut dan menyampaikannya kepada orang lain. Ketiga: bayaan rasmy/khaththy yang
menuliskan kata-kata itu sehingga orang yang melihatnya dapat memahami maknanya
sebagaimana orang yang mendengar dapat memahami makna suatu kata. Yang ini
adalah bayaan untuk mata, dan yang sebelumnya adalah bayaan untuk telinga,
sedang yang pertama tadi adalah bayaan untuk hati.
Tampaknya
sering sekali Allah SWT menggabungkan ketiga bayaan ini, sebagaimana dalam
firman-Nya,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya." (QS. al-lsraa: 36).
Begitu
pula dalam QS. An-Nahl ayat 78, Allah swt berfirman:
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur." (QS. an-Nahl:
78)
Dan
Allah swt mencela orang yang tidak memanfaatkannya untuk menggapai hidayah dan
ilmu yang berguna, seperti firman-Nya,
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ
“ Mereka tuli, bisu dan buta, maka
tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS. al-Baqarah:
18).
Allah
swt pun dengan tegas menyatakan dalam firman-Nya:
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ
سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Allah telah mengunci-mati hati dan
pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup." (QS. al-Baqarah:
7)
Coba
Anda perhatikan hikmah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Tahu ketika Dia
memberi manusia ilmu/pengetahuan tentang sesuatu yang mengandung manfaat bagi
kehidupan dunia dan akhiratnya, dan tidak memberinya ilmu tentang hal yang
tidak diperlukan. Dia memudahkan jalan-jalan mencari ilmu yang dibutuhkannya.
Semakin besar kebutuhan seseorang akan suatu ilmu, maka Dia semakin memudahkan
ilmu itu didapat. Dia memberinya pengetahuan (makrifat) tentang penciptanya.
Dia memudahkan bagi manusia jalan-jalan mencapai pengetahuan ini. Di antara
ilmu-ilmu, tidak ada yang lebih mulia daripada pengetahuan ini, dan juga tidak
ada yang lebih jelas bagi akal dan fitrah darinya. Dan, di antara jalan-jalan
untuk mendapatkan suatu ilmu, tidak ada yang lebih banyak, lebih jelas dan
terang dari jalan menggapai makrifat.
Sesungguhnya,
segala hal yang kamu lihat, kamu dengar, kamu pahami, atau terbetik di dalam hatimu,
serta semua yang tersentuh oleh inderamu adalah dalil atas Allah swt. Jadi, berbagai
jalan keilmuan tentang sang Pencipta adalah jalan-jalan yang fitri
dan dharuri.
Tidak ada ilmu yang lebih jelas daripada ilmu ini. Oleh karena itu, para rasul
bertanya kepada umat-umat mereka, "Apakah ada keraguan tentang Allah
SWT?" Mereka menanyai umat mereka dengan bentuk pertanyaan seperti itu,
yang biasanya diajukan kepada orang-orang yang tidak patut terbetik satu
keraguan pun tentang adanya Allah SWT di dalam hatinya.
Allah
swt telah memaparkan berbagai dalil atas wujud-Nya, keesaan-Nya, dan
sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang tidak terhitung kecuali oleh-Nya. Dia
meletakkan dalil-dalil itu di dalam fitrah, menyimpannya di dalam akal secara
global. Kemudian Dia mengutus para rasul untuk mengingatkan dalil-dalil itu.
Oleh karena itu, Allah SWT berfirman,
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
"Dan tetaplah memberi peringatan, karena
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman."
(QS. adz-Dzaariyaat: 55).
Allah
swt pun menegaskan kembali dalam firman-Nya:
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَىٰ
"Oleh sebab itu, berikanlah
peringatan karena peringatan itu bermanfaat."(QS. al-A'la: 9).
Begitu
juga firman Allah swt dalam QS. Al-Ghaasiyyah ayat 21:
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ
"Maka berilah peringatan, karena
sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan."
(al-Ghaasyiyah: 21)
Allah
swt pun menegaskan kembali melalui firman-Nya:
فَمَا لَهُمْ عَنِ ٱلتَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ
"Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling
dari peringatan (Allah)." (QS. al-Muddatstsir: 49)
Sungguh
masih banyak lagi ayat-ayat senada di dalam Al-Qur'an. Di samping bertugas
melakukan tadzkir (peringatan), para rasul itu juga bertugas merinci
pengetahuan yang terdapat di dalam akal dan fitrah secara global tersebut.
Lihatlah bagaimana pengakuan (iman) terhadap-Nya, terhadap keesaan-Nya,
sifat-sifat-Nya, dan hikmah-Nya dalam ciptaan dan syariat-Nya yang menuntut pengakuan terhadap risalah para rasul-Nya,
pembalasan terhadap orang yang berbuat baik dengan kebaikan dan orang yang
berbuat jelek dengan kejelekan.
Perhatikanlah,
betapa semua itu telah tertancap dan tersimpan di dalam fitrah manusia! Seandainya
fitrah itu dibiarkan seperti keadaannya ketika dicipta, tentu tidak akan
mengalami kerusakan dan penyelewengan, dan tentu akan mengimani keesaanNya,
kewajiban bersyukur dan taat kepada-Nya, mengakui sifat-sifat dan hikmah-Nya
dalam perbuatan-perbuatan-Nya, juga akan mempercayai adanya pahala dan siksa.
Akan tetapi, karena fitrah itu rusak dan menyeleweng dari manhaj aslinya, maka
dia mengingkari dan menyangkal sebagaimana kita saksikan.
Oleh
karena itulah, Allah SWT mengutus para rasul-Nya untuk memberi peringatan kepada
para pemilik fitrah yang masih bersih dan sehat. Mereka tunduk patuh secara
suka rela dan dengan rasa cinta karena faktor bukti-bukti yang diletakkan-Nya
di dalam hati-hati mereka. Sampai-sampai di antara mereka ada yang tidak
bertanya-tanya lagi tentang mukjizat. la tahu benarnya dakwah para rasul itu
dari isi dakwah itu sendiri; dan ia tahu bahwa itu adalah dakwah yang benar,
buktinya ada di dalam dakwah-dakwah itu sendiri. Di samping untuk memberi
peringatan kepada para pemilik fitrah yang bersih, para rasul itu juga diutus
untuk menunjukkan bukti (bayyinah) atas orang-orang yang memiliki fitrah yang
rusak, agar mereka tidak berdalih di hadapan Allah SWT bahwa Dia tidak memberi
mereka hidayah dan petunjuk. Sehingga, dengan penyampaian hujah dan bukti dari
para rasul itu mereka nanti menerima hukuman secara adil.
Sesungguhnya,
Allah tidak zalim kalau menyiksa dan menyengsarakan mereka. Dia telah
menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي
لَهُ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ
عَلَى الْكَافِرِينَ
"Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah
pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) (1) memberi
peringatan kepada orangorang yang hidup (hatinya) dan (2) supaya pastilah
(ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir." (QS. Yaasiin:
69-70).
Coba
Anda Perhatikan bagaimana pengetahuan (makrifat) kepada Allah SWT, pengakuan
kepada keesaan-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, risalah rasul-rasul-Nya,
dan kebangkitan untuk pembalasan telah tertulis dan tertanam di dalam fitrah.
Namun itu bukan semata agar seseorang tahu bahwa bukti-bukti tersebut tertanam
di dalam fitrahnya. Ketika para rasul mengingatkan dan menyinggungnya,
seseorang melihat apa yang diberitakan itu tertanam dalam fitrahnya. Akal
pikiran pun mengakui kebenarannya. Tidak hanya demikian, bahkan semua organ
tubuh dan gerak-geriknya juga mengakui kebenaran dakwah para rasul tersebut.
Inilah iman yang paling tinggi tingkatnya, dan itulah yang ditulis oleh Allah
SWT di dalam hati para wali-Nya dan kalangan khawash, sebagaimana
difirmankan-Nya,
أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ
وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ
"Mereka itulah orang-orang yang Allah
telah menanamkan keimanan dalam hati mereka." (QS. Al-Mujaadilah:
22)
Mari
kita renungkan baik-baik pada poin ini karena ia adalah sebagian dari mutiara
kitab ini. Yang ingin kami jelaskan di sini bahwa Allah SWT memberi manusia
pengetahuan beserta jalan-jalannya dan memudahkannya. Dia memberinya
pengetahuan yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lain karena kebutuhan
manusia kepadanya amat besar baik di kehidupan dunia maupun akhiratnya. Dia
meletakkan di dalam akal sejenis ikrar (pengakuan) terhadap baiknya syariat
yang merupakan tempat bernaung manusia di bumi-Nya dan keadilan-Nya di antara
hamba-hamba serta cahaya-Nya di alam.
Ini
adalah sebuah ikrar yang seandainya seluruh makhluk berkumpul dan bersatu tentu
mereka tidak dapat mengusulkan sesuatu yang lebih baik darinya, lebih adil, dan
lebih bermanfaat bagi makhluk di kehidupan dunia maupun akhirat. Ia adalah
ayat-Nya yang paling besar, bukti-Nya yang paling jelas, dan hujah-Nya yang
paling nyata bahwa Dialah Allah SWT yang tiada Tuhan selain Dia, dan bahwa Dia
adalah Tuhan yang punya sifat-sifat yang sempurna, jauh dari semua kekurangan.
Buktibukti itu sudah terlampau jelas, sehingga Dia tidak perlu memaparkan
bukti-bukti dari luar dirinya. Sehingga, nanti orang yang binasa tidak dapat
membantah dan berdalih macam-macam, sebagaimana firman-Nya:
وَلَٰكِنْ لِيَقْضِيَ اللَّهُ أَمْرًا كَانَ
مَفْعُولًا لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَىٰ مَنْ حَيَّ عَنْ
بَيِّنَةٍ ۗ وَإِنَّ اللَّهَ لَسَمِيعٌ عَلِيمٌ
" akan tetapi (Allah
mempertemukan dua pasukan itu) agar orang yang binasa itu binasanya dengan
keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu dengan keterangan yang
nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Anfaal:
42)
Sungguh
Allah SWT telah menanamkan di dalam fitrah pengertian tentang baiknya sifat
adil, jujur, bakti, tepat janji, nasihat terhadap sesama, mengasihi si miskin,
menolong orang teraniaya, membantu orang yang perlu bantuan, menunaikan amanah,
membalas perbuatan baik dengan kebaikan dan perbuatan buruk dengan maaf, sabar
pada kondisi yang menuntut kesabaran, membalas pada saat harus membalas, lembut
pada saat perlu lembut, tenang, wibawa, serta pergaulan yang baik dengan
kerabat dan nonkerabat.
Allah
swt pun telah meletakkan pengetahuan akal lainnya di tengah manusia dalam interaksi
bisnis, pernikahan, dan jinayah. Juga yang ditanamkan-Nya di dalam fitrah
mereka tentang baiknya syukur kepada-Nya, ibadah kepada-Nya semata tanpa
menyekutukan-Nya, dan bahwa nikmat-nikmat-Nya kepada mereka mengharuskan mereka
mengerahkan kemampuan dan tenaga mereka untuk bersyukur dan mendekatkan diri
kepada-Nya, dan mengutamakan Dia atas yang lain. Dia menanamkan di dalam
fitrah, pengetahuan akan buruknya lawan dari sifatsifat di atas. Kemudian Dia
mengutus rasul-rasul-Nya dengan membawa perintah untuk melakukan sifat-sifat
yang sudah diakui kebaikannya oleh fitrah mereka, dan melarang apa yang sudah
diakui buruknya di dalam fitrah.
Dengan
demikian, syariat yang turun sesuai dengan fitrah. Bukti-bukti agama-Nya di
dalam fitrah mengajak untuk beriman, "Marilah
menggapai kemenangan." Bukti-bukti dan ayat-ayat itu merobek pekatnya
kegelapan keengganan sebagaimana sinar pagi merobek gelapnya malam. Dan, hakim
syar'i akan menerima persaksian akal dan fitrah asal pada diri si saksi tidak
terdapat penyelewengan dan tidak cacat akhlaknya.
Posting Komentar untuk " Menangis Itu Sehat (Dalam Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah) Bagian Kedua"